🦁How Singto met Kit🦁 – -

Singto saat itu masih muda. 6 tahun bukanlah umur yang cukup dewasa untuk menerima rangkaian hidup yang cukup menyulitkan. Ibunya meninggalkannya bersama ayah dan dua saudaranya. Lari bersama seorang pelayan muda yang dipekerjakan oleh ayahnya.

Yang ia tidak mengerti adalah kenapa ibunya meninggalkannya tanpa membawanya serta? Singto kira dia adalah anak kesayangan ibunya. Ia berperilaku manis dan menurut kepada ibunya. Tapi kenapa Singto ditinggalkan bersama ayahnya yang lebih menyayangi kakak laki-lakinya yang pintar dan adik perempuannya yang manis. Pertanyaan kenapa itu menghantuinya hingga kini.

Rumahnya terasa dingin dan membosankan. Lorong-lorong gelap -yang pada awalnya memang gelap- kini berubah menjadi lebih mengerikan. Biasanya pada malam hari ibunya akan mendatangi kamarnya lalu mendongengkan beberapa cerita karena singto agak rewel jika tidur sendirian. Setelah kepergian ibunya, singto akan tidur diatas jam 10 sambil mengeratkan kasurnya berharap tidak ada hantu yang akan mengambil anak kesepian sepertinya (Ah terkadang singto berharap dimalam tertentu hantu akan menculiknya lalu membawanya pergi ke dunia permen yang menyenangkan akan tetapi begitu mengingat gambaran hantu di televisi yang menyeramkan, maka dia akan berakhir ketakutan sendiri).

Selama hampir setahun rumahnya benar-benar seperti suasana berkabung. Ibunya dianggap mati oleh ayah mereka. Tidak boleh ada satupun kalimat atau kata yang menyebut nama ibunya. Mereka semua tidak akan mengucapkan satu patah katapun terkecuali ketika ditanya ayah.

Rumah menjadi tidak terurus. Debu menutupi perabotan kayu dan laba-laba mulai gencang merancang rumahnya di sudut ruangan.

Ayahnya akan menyuruh paman supir membeli sarapan dan makan malam lalu menghilang entah dibalik ruang kerjanya atau menutup pintu keluar rumah. Suasana menjadi sunyi dan senyap hingga singto bisa mendengar suara burung yang hinggap di ranting sekitar rumahnya berkicau pelan.

Tepat bulan kesepuluh, ayahnya membawa seorang wanita yang terlihat masih muda ke rumahnya. Mereka bertiga hampir mengira ayahnya membawa ibu baru kalau saja sang ayah tak memperkenalkan wanita itu sebagai asisten rumah tangga mereka yang baru. Sepertinya ayah sadar keadaan kami yang luntang lantung seperti di penjara tidak terurus lalu akhirnya memutuskan untuk mempekerjakan perempuan itu. Namanya bi sangpotirat. Karena terlalu panjang singto memutuskan memanggilnya bi tira.

Setidaknya beban hidup singto berkurang sedikit. Dia tak perlu memikirkan lagi apa yang akan ia makan hari ini, apakah bajunya sudah kembali dari laundry, atau siapa yang akan membersihkan debu-debu di tiap sudut rumahnya yang mulai menumpuk membuatnya bersin-bersin.

Rumahnya menjadi lebih manusiawi.

Bulan demi bulan dilewati. Bibi itu baik sekali. Terkadang dia akan menemani singto kecil yang sedang melamun di rumah belakang dan menceritakan beberapa kisah. Wanita dewasa itu juga terkadang akan menceritakan tentang anaknya yang harus ditinggal sendirian di rumah. Dia membanggakan anaknya yang manis dan dewasa. Singto agak iri mendengarnya, pastilah anak itu sangat disayang.

Singto kecil juga biasa menemani bi tira saat sedang menjemur pakaian di samping rumah, atau saat memasak makan siang, atau juga saat asisten rumah mereka itu sedang melakukan kegiatan sehari-hari.

Yang menyebalkan dari bi tira hanya satu. Dia tidak pernah menginap sekalipun di rumah itu. Singto berpikir jika bi tira menginap maka kemungkinan besar dia tidak akan kesepian karena mungkin tengah malam ia akan menyelinap untuk tidur bersamanya.

Saat ia tanyakan itu kepada ayahnya dengan perasaan takut, ayahnya menentang keinginannya. Singto kecil tidak mengerti kenapa, tapi yang bisa ia ketahui dari jawaban pak indra selaku sopir mereka ayahnya masih trauma dengan kejadian ibunya. Ia tak mengerti. Apa itu trauma? Apakah itu nama sebuah tempat? Jadi dia hanya bisa mengangguk pasrah mendengar jawaban membingungkan itu.

Tapi setahun setelah itu, entah mengapa ayahnya memanggil bi tira ke ruang kerjanya. Tidak pernah ayahnya sekalipun membiarkan seseorang memasuki ruang kerja itu selain ketika bi tira membersihkan ruangan saat ayahnya sudah pergi bekerja. Bi tira keluar dari sana dengan wajah berseri, tidak seperti ekspetasi singto. Singto melihat bi tira yang bersenandung pelan dari balik tembok, tidak berani mendekat dan bertanya. Biarlah kelak pertanyaan itu terjawab sendirinya, singto tidak berani merusak momen kebahagiaan wanita itu.

Esoknya ketika ia menuruni tangga rumahnya dan memasuki ruang makan, ia terkejut melihat seorang anak laki-laki yang sangat menempel ke sisi bi tira.

Pelayan baru kah? pikirnya, melihat anak lelaki itu ikut membantu mengangkut piring-piring penuh makanan ke meja makan.

Ketika ayahnya mengenalkan anak itu sebagai anak dari bi tira, ia sedikit kesal dan cemburu. Apalagi ketika ia dilarang sangat ayah mengunjungi rumah kecil dibelakang lagi karena “bocah” itu akan tinggal disana. Senyum bi tira yang biasanya selalu ia lihat ketika bi tira memandang kearahnya, sekarang ia lihat ketika wanita itu menggandeng si bocah keluar dari ruangan makan. Ia ingin sekali mengerjainya hingga anak itu merengek untuk pulang lalu bi tira akan kembali mengurusnya saja disini.

Jadi ketika bi tira keluar dari sana, singto melompat turun dari kursinya. Kaki kecilnya mencoba mengikuti keluarga kecil itu pergi kemana. Ayahnya sempat meneriakinya kecil menanyakan kemana ia akan pergi dan dijawab kalau ia ingin ke toilet. Ia harus memaksa kakinya untuk sedikit berlari karena langkah kedua orang itu amatlah cepat.

“Dengar nak, ibu dan kamu berhutang budi kepada tuan ruangroj. Kita harus mengabdikan diri kita kepada rumah ini dan menjadi patuh. Kamu harus bisa menempatkan dirimu sebagai pelayan mereka. Kau paham kan? “

“kit.. paham. “

“Pintar anak ibu. “

Ohh. Mengabdikan. Singto umur 9 tahun tidak mengerti banyak, tapi ia tau kalau itu bisa menjadi senjatanya kelak.