Kit menggigiti bibir bawahnya tanpa sadar. Dia melihat kak Singto-nya melewatinya di hall GMM yang luas. Lelaki itu terlihat sibuk. Kakinya melangkah lebar-lebar dan tergesa sedang matanya terus-terusan menengok ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Kit tebak dia terlambat janji temu dengan petinggi GMM untuk membicarakan pekerjaan lebih lanjut. Ia melamun, tidak sepenuhnya sadar telah mengangkat jemarinya kearah mulutnya, lalu ganti menggigit kuku ibu jarinya. Hari ini adalah hari “itu”.

“it..” sayup-sayup seseorang memanggil.

“Ki-..” dia semakin gugup menggigiti jemarinya.

“KIT!” Seseorang mengguncang bahunya kuat, mengembalikan lelaki itu ke kesadarannya.

Setelah mendesah sebentar dengan menghela nafasnya, Krist mengangkat wajahnya yang entah kapan sempat ia tundukkan. Wajahnya lesu dan kantung mata mengerikan menghiasi wajah yang biasanya ceria itu.

“Iya, Phi?” tanyanya kepada Gun.

“Kau daritadi tidak mendengarkanku sama sekali?”

“Apa? Tidak. Iya-tidak eh maksudku aku dengar kok!”

“Jelaskan apa yang aku katakan tadi kalau begitu” tantang Gun dan jelas Kit tidak bisa menjawab apa-apa karena benar memang dia tidak mendengar. Kit pun tak mengelak mengingat yang sedang ia ajak omong sekarang adalah Gun. The greatest Gun. Kakaknya itu tahu kapan ia bohong atau sedang jujur.

“Cerita padaku, kenapa kau begini? Kau terlihat.. panik”

“Tidak Kit, kau sedang mengkhawatirkan sesuatu, aku tahu.” ujarnya setelah melihat Kit menggeleng pelan. Tangannya otomatis menggandeng milik Krist ketika sampai ke depan jejeran lift yang penuh dengan orang-orang yang juga memiliki tujuan sama dengan keduanya- menaiki lift untuk sampai ke lantai lebih atas. Meskipun ia memiliki tubuh yang pasti lebih kecil daripada Kit, Gun tetaplah lebih dewasa dan berumur lebih tua daripada anak manis itu. Ia amat menjaganya.

Kit nyaris berbisik di samping kanan Gun. Ia terdengar seperti mencicit. Gun sampai-sampai harus menyerukan ‘hah’ panjang dan memintanya mengulang karena kali ini suaranya amat lesu dibandingkan biasanya.

“ Itu… sekarang adalah hari ‘itu’, kak.” Wajahnya semakin menunduk menatap kedua kakinya yang saling berhimpitan dengan kaki orang lain di lift yang penuh sesak itu. Tanpa berbicara ataupun mencoba membalas perkataan Kit, Gun mengeratkan genggaman tangannya pada Kit.

“Kau dengar cerita Nom?” seorang perempuan yang sepertinya staff terdengar berbicara. Suaranya tidak kencang, namun kenyataan kalau ia dan temannya tepat berada di samping Kit membuatnya dapat mendengar semua pembicaraan mereka.

“Kau ingat pacarnya yang senang sekali membelikan ia barang-barang bagus? Termasuk baju, kalung, dan sepatunya? Ternyata lelaki itu belum melupakan mantan kekasihnya. Ia membelikan semua itu agar Nom terlihat mirip dengan mantannya. Lelaki itu sengaja menjadikan Nom pelariannya.” Perempuan yang pertama tadi mendesis kesal, sedangkan temannya terdengar ikut empati terhadap nasib si ‘Nom’ ini, dapat diketahui dari caranya mendecak dan ikut menyatakan kekesalannya.

Kit sudah akan menangis ketika Gun menariknya agar berada di bagian kirinya. Ia tahu bahwa kakaknya itu berharap agar ia tidak mendengar kelanjutan gosip itu namun ia semakin dilanda panik ketika otaknya membenarkan kata ‘pelarian’. Tubuhnya merespon rasa sakit dengan refleks hingga tangannya yang digenggam balik mencengkram kuat telapak tangan Gun, sedangkan empunya hanya bisa menahan sakit karena cengkraman itu sangat kencang.

“Tahan, Kit. Kita akan sampai sebentar lagi.” Jujur saja sekarang tangannya terasa kebas.

Denting lift yang ke-4 ini membawa mereka ke lantai tujuan. Kit tanpa banyak kata melesak keluar dan terburu-buru menuju toilet yang berada di tengah-tengah lorong. Cepat sekali larinya sampai-sampai Gun sedikit tertatih membawa kakinya berlari kecil menyusul adiknya itu sambil sesekali mengibaskan tangannya.

“Kit?” panggilnya di depan pintu masuk toilet, “ah maafkan aku.” Ujarnya begitu hampir menabrak seseorang yang akan keluar toilet.

Suara muntahan menyambut Gun ketika sudah benar-benar memasuki toilet. Untung saja toilet kali ini sedang kosong, kalau tidak mungkin mereka berdua akan diprotes. Ia menunggu di depan tepat di depan bilik yang berada di tengah- menyender ke keramik putih wastafel, satu-satunya yang tertutup membuatnya yakin Kit berada di sana, memuntahkan entah apa yang ia makan tadi pagi. Tapi Gun yakin adiknya itu pasti tidak makan apa-apa dan hanya mengeluarkan air yang ia minum semejak sehari lalu.

Kit keluar dari sana setelah 5 menit terisak, sempoyongan. Tanpa melihat tatapan iba yang Gun layangkan ke arahnya, ia menyeret kakinya ke samping Gun tepat didepan wastafel paling kanan. Menghidupkan keran lalu membasuh wajahnya yang berantakan dan membengkak. Tidak peduli dengan air yang menyiprat ke kerah dan pergelangan lengan yang menambah berantakan penampilannya.

“Kau tahu kan kalau kau bisa menanyakannya ke Singto? Mungkin kedengarannya klasik, tapi komunikasi diantara kalian -“

“Dia engga mau jawab, Kak. Aku pernah menanyakan padanya alasannya di tahun kedua kami, tapi dia engga jawab ataupun berhenti saat itu.” Gun bisa dengar getaran di suara Kit yang rapuh.

“Kau bisa tanyakan lagi, Kit, ini sudah 4 tahun-“ lagi-lagi Krist memotong kalimat Gun.

“Aku takut. Gimana kalau… gimana kalau yang aku pikirkan selama ini benar? Aku takut, aku gamau dia mengiyakan prediksi aku, atau bisa aja dia marah dan mengatakan aku terlalu ikut campur, atau dia…” setitik demi setitik air mata jatuh dengan deras di kedua pipinya yang kemerahan. Gun hanya bisa memandang ke langit-langit toilet sambil meraih tangan milik Kit untuk digenggam lagi. Keduanya menghela napas. Yang satu dengan perasaan kalut dan yang lain dengan hembusan yang perlahan.

“Kalian sudah datang? Aku punya berita bagus!” Off menghampiri Kit dan Gun yang baru datang ke studio 8, namun menghentikan kalimat cerianya begitu melihat wajah pucat Kit yang tertekuk dan matanya membengkak merah. Dibelakangnya menyusul Gun yang segera menyambar lengan kirinya, menyeretnya menjauh dari tengah studio dan menepi ke sudut. Jumpol hanya bisa pasrah ditarik-tarik oleh lelaki mungil itu.

“Kenapa dengan Kit?” Off segera setelah mereka berhenti menepi melanjutkan pertanyaan yang tertahan di ujung lidahnya, menoleh kearah Kit yang sedang mengistirahatkan tubuhnya di bean bag di tengah ruangan dan meringkuk memeluk lututnya sendiri.

“Hari ini adalah hari ‘itu’. Kit sepertinya berakhir memikirkan banyak kemungkinan-kemungkinan. Pi, apa menurutmu kita harus memukul Singto?” Off hampir tertawa keras mendengar keberanian Gun yang jelas lebih kecil dari Singto ini untuk memukul lelaki yang sedang mereka bicarakan.

“Gun, kau tahu? Terkadang ada yang tidak bisa kita ikut campuri. Aku marah sekali mendengar perlakuan Singto ke Kit, tapi kita juga ga bisa menilai dari satu sisi 'kan? Kita harus dengar penjelasan Singto juga. Kau tau dia orangnya begitu, tidak membuka perasaannya pada siapapun.” Off merespon kalimat pacarnya dengan bijak. Ia mengambil jemari pacarnya yang mencengkram erat pergelangan tangannya, mencoba mengirimkan pengertian lewat sentuhan.

Kit tersentak ketika merasakan getaran teleponnya yang berada di saku celana. Ia terbangun dengan kondisi sepi dan lampu studio telah dimatikan sebagian. Seseorang menghubunginya dan jujur saja sekarang tubuhnya masih terasa kaku dan kebas karena hari ini dia tidak tidur sama sekali memikirkan ‘malam ini’. Dengan gemetar ia duduk dengan tangan kiri menopang tubuhnya sedangkan tangan kanannya meraih selular di saku kanan. Krist baru menyadari segelas es coklat yang sudah agak mencair di ujung sebrang kakinya. Entah siapa yang membelikannya es cokelat itu tapi yang pasti dia amat bersyukur karena sekarang ia sedang lemas sekali dan membutuhkan gula.

“Halo, Siapa ini?” masa bodoh dia terlalu malas melihat display nama yang tertera di genggamannya.

“Kit! Ini aku, kau barusan bangun tidur ya sampai tidak melihat siapa yang menelponmu? Sudah kubilang jangan kebiasaan begitu. Bagaimana kalau ternyata yang menghubungimu adalah fans fanatikmu? Bisa-bisa kau akan dalam bahaya, halo Kit?? Kiiitt? Kau masih disana kan? Kau dengar tidak?” sebenarnya Krist tidak mendengarkan lagi setelah yang diujung sana menyebut nama Kit dengan aksen khasnya.

“ Iya, phi Sing aku dengar..”

“ Ya syukurlah, jangan lupa yaa hari ini, di apartemenku. Seperti biasa barang-barangnya ada di box di bawah tempat tidur. Datanglah duluan Kit, aku masih harus melanjutkan pembacaan script dengan direktur.” Cukup lama untuk Kit mengiyakan kalimat kakaknya ini. Ada perasaan yang ingin menolak dan meneriaki wajah tampan Singto keras atau sekadar memaki lelaki itu dengan segala makian yang ada di muka bumi.

Singto segera menutup sambungan setelah terdengar panggilan untuk kembali melanjutkan pertemuan. Sedangkan Krist kini hanya bisa menyesali dirinya yang tak tega menyumpahserapahi Singto. Setetes air mata jatuh kembali jika mengingat kak Singtonya. Kak Singto-nya yang katanya mencintai dia tanpa syarat. Kak Singto-nya yang berlutut dihadapannya yang kesal menangisi kecemburuan pada lawan main Singto. Kak Singto-nya yang mengelus kepalanya ketika malam hari ia terlalu lelah dengan kehidupan sebagai artis. Tapi juga kak Singto-nya yang selalu memintanya untuk menjadi orang lain. Kak Singto-nya yang mengaku tidak pernah memikirkan siapapun selain aku padahal selalu melamun setiap memandang dompetnya yang tak pernah tersentuh. Kak Singto-nya yang tak pernah memberikan kejelasan.

Es cokelat yang sedari tadi menganggur di dekat kakinya ia jangkau dan menyedot tanpa pikir panjang. Gula adalah obat terbaik, sungguh, karena sekarang Kit benar-benar segar kembali.

Cukup lama ia melamun memandangi telepon genggamnya. Mungkin jika itu sebuah telur, pasti telah matang ia pandangi dengan emosional dan membara. Ia sedang menyusun sebuah rencana yang tentu amat beresiko untuk masa depan. Tapi persetan, Kit capek dengan perasaannya. Dia butuh dihargai juga. Ia lelah dengan rasa ketakutan yang menghantuinya akhir-akhir ini

Kit segera bangkit dan mengemasi barangnya. Ia pulang, menuju apartemen Singto dan dengan santai memasuki tempat itu menggunakan kunci duplikat yang ia miliki. Lelaki manis itu bergegas mencari box kontainer biru tua yang ada tepat dibawah kasur Singto. Kit buka dan mengeluarkan barang-barang yang ada disana sambil mendengus marah. Rambut palsu berwarna cokelat muda yang panjangnya menyentuh punggung saat ia gunakan, serta blouse kuning dan rok pendek berwarna cream yang manis. Oh sudahkah Kit katakan tadi? Ya Singto selalu memintanya mengenakan semua itu setiap kali mereka melakukan sex.

Jelasnya, Singto menetapkan bahwa mereka akan melakukan sex selama 2 bulan sekali mengingat jadwal mereka berdua amatlah sibuk. Dan di tiap hari dimana mereka akan melakukan sex, Singto selalu memintanya menggunakan rambut palsu, pakaian wanita, dan rok pendek. Awalnya Kit menurut saja karena ia pikir itu adalah hal yang wajar. Mungkin kakaknya ini punya kink? Begitu pikiran Kit. Namun ternyata setelah satu setengah tahun mereka melakukan sex rutin, Singto sama sekali tidak pernah memintanya menjadi dirinya sendiri. Dan hebatnya lagi entah bagaimana Singto selalu mendapatkan variasi baju yang berganti tiap mereka melakukan itu. Parahnya lagi, mereka selalu melakukannya dengan posisi Kit membelakangi sang dominan.

Kit pada akhirnya curiga. Ia mendengar banyak cerita-cerita staf GMM yang merasa menjadi ‘pelarian’ kekasih mereka. Kit merasakan adanya hal yang mengganjal karena tentu cerita mereka hampir-hampir mirip dengan yang dialaminya. Sudah 4 bulan ia menanggung perasaannya yang bertanya-tanya. Selalu tidak ada titik temu, dan ia pun selalu tersakiti. Dan sebenarnya Krist takut apabila setelah menanyakan hal ini pada Singto, jawabannya akan benar, ya Kit aku memang menjadikanmu pelarian dari mantanku, atau bisa jadi LANCANG SEKALI KAU MENANYAKAN HAL ITU PADAKU. Entahlah yang pasti Kit takut sampai dengan tadi, tapi setelah dipikir-pikir ia harus meminta keadilan kepada Singto di ujung waktu. Ia tak mau dipandang remeh ataupun digantung begini. Dia tentu lama-lama akan muak dan hari dimana ia muak haruslah hari ini.