Krist hanya berumur 8 tahun kalau itu. 8 tahun lebih 2 bulan. Disaat ia masih sekecil itu, hidupnya selalu ia habiskan sendirian di kosan sempit yang ibunya sewa di pinggiran kota. Ia akan bangun pagi, mandi dan gosok gigi, memakan sarapan yang ibunya siapkan, mengemasi rumah yang berantakan, lalu tidur siang. Bahkan setelah ia bangun sore pun ia hanya akan duduk menetap di depan jendela kosannya duduk menyila di sofa yang lebih besar dari ukuran tubuhnya, melihati teman-teman sebayanya bermain kelereng ataupun petak umpet.

Hal itu akan terus ia ulangi hingga maghrib menjelang dimana anak-anak seusianya harus pulang atau hingga salah seorang anak menyadari tatapan 'menakutkan' yang ia layangkan kepada mereka. Terkadang dihari tertentu beberapa anak akan menangis.

Setelah kerumunan bubar, yang bisa Kit kecil lakukan hanyalah menutup rapat 4 buah jendela yang ada lalu menghidupkan lampu satu-satunya di tengah ruangan sebagai penerang kosan kecil mereka. Membuka kulkas yang sudah tidak layak lagi, lalu memanaskan makanan yang ibunya simpan dari pagi buta untuk ia makan malam.

Pukul 8.30 malam biasanya baru akan terdengar langkah kaki ibunya di depan pintu dan berakhir mengetuk pelan agar bisa dibukakan oleh anak semata wayangnya. Ibunya akan masuk ke rumah sambil mengurut bahunya yang pegal dan menanyakan bagaimana keseharian Kit di rumah tanpanya. Lelaki mungil itu hanya akan terdiam sebagai jawaban -tanda bahwa harinya seperti biasa dan tidak ada yang spesial.

Kit akan mengambil alih tas kecil yang ibunya bawa untuk ditaruh ke meja samping televisi usang yang bahkan tak payah-payah untuk kit hidupkan, karena toh tidak akan pernah bisa menyala. Ibunya akan membersihkan dirinya lalu bersiap-siap tidur sambil memeluk tubuh kit yang ringkih. Seperti itu kehidupan mereka berlangsung selama 2 tahun. Kit yang kecil sudah harus terpaksa mandiri.

Hari itu entah mengapa pagi-pagi sekali ibunya sudah membangunkannya dan menyuruhnya bergegas mandi lalu memakai baju yang bagus. Meskipun heran, kit mungil tetap melakukannya. Ibunya mengajak kit keluar dengan membawa banyak sekali tas yang entah apa isinya. Mereka keluar dari kosan dengan menjinjing tas-tas tadi. Ibunya menemui ibu pemilik kos dan berbicara sebentar lalu menyerahkan kunci kos yang hampir setiap hari ia pegang di saku celananya.

Kit bingung tapi tidak berani menanyakan apapun kepada ibunya yang terlihat sangat repot. Mereka menaiki bus pagi-pagi buta. Bunyi besi bus yang berkarat terdengar mengerikan saat diinjak kaki rampingnya. Di dalam bus hanya ada seorang lelaki tua dengan seorang ibu-ibu yang terlihat sedikit tua daripada ibunya. Keduanya terlihat menutup mata mencoba menghalau rasa dingin pagi ini. Mata kecilnya mencoba menyesuaikan dengan kegelapan yang ada karena bahkan mentari belum terbit sedikitpun.

Ketika akhirnya bus berhenti di sebuah halte, mereka harus berjalan lagi kesebuah gang yang mengarah menuju rumah besar tingkat 2 yang pagarnya saja nampak seperti akan menelan Kit hidup-hidup. Rumahnya terlalu besar -entahlah apakah rumah itu terlalu besar untuknya atau kit yang terlalu kecil untuk rumah itu.

Ibunya menarik tangannya ke sebuah ruangan yang megah. Satu ruangan itu jika dihitung mungkin sama besarnya dengan rumah kos milik ibu kos yang menampung 10 ruang kamar dan 2 buah toilet. Ibunya menarik kit agar sejajar dengannya lalu begitu sampai di depan sebuah meja dengan kursi yang membelakangi mereka, ibunya mulai berbicara memperkenalkannya sambil menunduk. Kit hanya bisa menatap kebingungan.

Ketika kursi itu berputar kearahnya, kit bisa melihat sesosok lelaki berumur sekitar 30an dengan wajah angkuhnya. Ia mengatakan beberapa patah kata yang sulit kit cerna. Yang dapat ia tangkap hanyalah, pakai rumah dibelakang. Ibunya membalas paman itu dengan ucapan Terima kasih yang aamat banyak hingga Kit tidak bisa menghitung berapa banyak ucapan itu dengan jari jemarinya yang mungil.

Setelah mereka undur diri, Kit lalu dibawa ibunya berjalan melewati lorong-lorong panjang tak berujung yang entah kapan bisa sampai ke tujuan. Kit baru bisa lega saat ibunya membuka pintu belakang yang menuju ke sebuah taman dengan sebuah rumah yang jauh lebih kecil diujung taman. Kit bahkan masih sempat terkagum-kagum memandang hamparan bunga dan kolam ikan yang airnya sangat jernih ketika ibunya sudah membuka pintu rumah kayu yang akan mereka tinggali kelak ini.

“kit masuklah. ” Perintah ibunya sambil mencoba mencopoti satu persatu kain putih yang menutupi perabotan.

Kit kecil akhirnya berjalan memasuki rumahnya dengan menenteng 2 tas kecil di tangan kanan kirinya. Rumah itu bahkan benar-benar jauh lebih layak huni daripada kosannya. Ada sebuah televisi yang terlihat masih bagus dan beberapa ornamen cantik menggantung di langit-langit rumah.

Mereka hanya berkemas sedikit memasukan baju lalu ibunya kembali menyeretnya memasuki rumah besar itu lagi melewati pintu belakang. Ibunya membawanya ke dapur yang penuh dengan makanan. Ibunya terlihat amat sibuk hingga tanpa disuruh lagi Kit mendudukan tubuhnya di sebuah tong kayu yang ada diujung dapur untuk mengistirahatkan kaki kecilnya yang dipaksa berjalan kesana kemari semenjak pagi buta. Kaki-kaki mungilnya bergoyang ke depan dan kebelakang menunjukan kebosanan.

Tepat jam 7.30 ibunya selesai memasak dan mulai menyusun makanan-makanan yang amat banyak ke sebuah troli yang cukup besar. Ibunya kemudian menatapnya dan mengayunkan tangannya mengisyaratkan anaknya untuk mendekat dan mengenggam tangannya.

Ibunya membawanya lagi ke sebuah ruangan yang jauh lebih luas dengan sebuah meja panjang dan kursi-kursi yang telah disusun rapi. Di ujung tengah kursi, lelaki yang tadi ia temui di ruangan pertama sedang duduk sambil membaca koran. Tidak ada satupun yang berani untuk mengganggunya membaca beberapa lembar berita itu. Ibunya mulai menyusun banyak piring ke meja yang dialasi kain putih tanpa bicara. Kit yang melihat ibunya bekerja, berinisiatif untuk membantu mengangkat piring-piring ke atas meja supaya ibunya tidak perlu bolak balik mengangkut.

Tanpa ibu dan anak itu sadari, tuan rumah mengintip sedikit dari lembaran koran dan tersenyum kecil. Matanya mengikuti gerak-gerik anak asistennya yang menggemaskan.

Ketika makanan sudah sepenuhnya diletakkan di atas meja, satu persatu anak tuan rumah memasuki ruangan itu. Dari anak lelaki tertua yang menggunakan seragam SMP, anak perempuan bungsu yang terlihat cantik dengan rok sekolahnya, serta yang terakhir anak lelaki dengan seragam biru yang membalut tubuhnya apik.

Anak yang terakhir masuk menatap Kit dengan pandangan aneh. Ia kemudian menatap ayahnya untuk meminta penjelasan.

“Ohm, singto, namtan. Perkenalkan ini anaknya bu sangpotirat. Siapa tadi? ” Lelaki itu menggerak-gerakan tangannya mengisyaratkan ibunya untuk menjawab.

“Krist, tuan, krist perawat.” Jawab ibunya membalas pertanyaan tuannya.

“Benar, krist.. Nah bu sangpotirat dan krist ini akan tinggal di rumah yang ada dibelakang mulai sekarang jadi kalian jangan mengganggu rumah belakang lagi ya, dengar singto?” Yang dipanggil singto hanya bisa memasang wajah masam.

“Nah krist, kenalkan nama saya tuan ruangroj. Yang ini ohm, singto, lalu itu namtan. Jangan terlalu sungkan.” Tutup tuan ruangroj dengan senyum kecilnya.

Krist sedikit membungkuk untuk menyapa mereka. Ia mengedarkan pandangan kepada anak-anak tuan ruangroj lalu terhenti ketika ia beradu pandang dengan singto. Matanya jahil dan senyumnya terlihat mencurigakan. Pertemuan mata mereka terputus ketika ibunya menariknya untuk keluar sambil membawa troli makanan dan kembali ke dapur.

Begitu sampai di dapur, ibunya membungkuk ke arahnya hingga tinggi mereka sejajar. Ibunya menggenggam kedua bahu Kit yang masih amat kecil untuk dihadapkan dengan dirinya.

“Dengar nak, ibu dan kamu berhutang budi kepada tuan ruangroj. Kita harus mengabdikan diri kita kepada rumah ini dan menjadi patuh. Kamu harus bisa menempatkan dirimu sebagai pelayan mereka. Kau paham kan? “

“kit.. paham. “

“Pintar anak ibu. ” Entah apa yang membuat Ibunya sangat senang, tapi ibu nya bahkan sampai memeluknya erat dan memekik girang.

Begitulah. Dari hidupnya yang biasa saja dan terus-terusan berada seperti di penjara tanpa seorang pun yang menemani, kini ia bisa melepaskan diri dan mulai hidup dengan nyaman. Ibunya berkata jikalau itu semua adalah berkat tuan ruangroj, oleh sebab itu setiap hari ia harus mendengar dikte ibunya yang berucap untuk mengabdikan hidup mereka kepada tuan ruangroj. Kit umur 8 tahun, belajar untuk sadar siapa dirinya.