Story abal-abal wk.
Pagi ini Fiat sulit dibangunkan. Mungkin karena efek semalam anak semata wayangnya itu tidur amat larut menonton pertandingan bola yang ditayangkan tepat diwaktu seharusnya ia sudah tidur. Fiat sudah memohon-mohon semenjak beberapa minggu lalu pasalnya teman-temannya selalu mengejeknya yang tidak tahu menahu tentang klub bola. Dia dan ayahnya benar-benar sangat buta tentang apapun yang berhubungan dengan olahraga.
Suara bel berbunyi.
Seseorang baru saja menekannya dan Krist -ayah Fiat bergegas menuju ruang tamu yang terhubung dengan teras luar oleh sebuah pintu kayu yang memiliki sedikit ukiran tipis berlekuk-lekuk di tepi-tepinya. Ini neneknya Fiat yang memilihkan, makanya jangan tanya kenapa daun pintu tersebut terlihat sangat indah untuk sebuah rumah yang ditempati dua orang laki-laki yang bahkan tidak memerhatikan cat dinding apa yang harus dipadankan dengan sofanya yang berwarna merah maroon.
“Oh Pak Singto.. Mari pak masuk!” Krist sejujurnya sudah tahu siapa dibalik coklatnya pintu bahkan sesaat dia mendengar bunyi halus deruman mobil di depan rumahnya. Jantungnya sedikit berdegup lebih kencang karena perasaan semangat ketika melangkah berbalik menuju kompornya yang tadi hanya dikecilkan apinya. Ia mendengungkan sedikit nyanyian yang ia dengar di radio kala sendirian menunggu Fiat pulang dari bermain di rumah teman sekelasnya.
Akhir-akhir ini hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Singto rajin mendatangi rumah Krist tepat jam 6.15 untuk ikut sarapan bersama keluarga kecil itu. Alasannya karena ia jarang memasak dan sibuk di pagi hari harus bersiap untuk berangkat ke kantor sedangkan pada jam 7 jalan raya rawan akan macet. Fiat sendiri tidak pernah menolak kehadiran 'ayah kedua' nya yang sering mengajaknya ke mall dan membelikannya mainan atau sekadar makanan ringan.
Singto tidak perlu diarahkan ke meja dapur hanya untuk duduk di sana menunggu makanan siap. Dia hanya perlu berjalan dari ruang tamu memasuki ruang keluarga lalu berbelok sedikit untuk mencapai dapur dan meja makan yang memiliki 4 kursi saling berhadapan. Meja makan tepat bersebrangan dengan dapur namun sedikit dihalangi oleh aquarium yang cukup besar. 5 minggu berkunjung ke rumah sederhana itu sudah membuatnya hapal dengan segala seluk beluk rumah Krist -bahkan sampai ke pemiliknya.
” Fiat kemana Pak Krist? Saya lihat dia belum turun dari kamarnya.” Singto memecahkan keheningan diantara mereka berdua.
” Iya pak, semalam dia kebablasan tidur sampai hampir tengah malam. Tadi sudah saya bangunkan tapi belum ada tanda-tanda turun ke bawah”
” Tumben pak, biasanya paling lama dia tidur jam 9?” kini ia melongokan kepalanya kearah tangga tepat di depan meja makan yang mengarah ke lantai atas yang terdapat kamar Fiat dan ruang bermain yang dirancang khusus untuk menghibur anak kecil itu saat ayahnya belum pulang. Tangga tadi membelakangi dapur dan tertutupi oleh aquarium. Nice sekali.
” Biasalah anak lelaki, jika punya teman yang memiliki selera berbeda maka teman-temannya akan merundung. Hal itu terjadi ke Fiat. Kebetulan anaknya lebih suka menonton National Geographic, menikmati melihat dokumenter-dokumenter tentang hewan di alam liar. Jadi semalam dia sengaja menonton pertandingan bola di televisi. “ ketika Krist mengoceh panjang lebar begini Singto hanya bisa mendengung pelan, memberi tanda bahwa ia mendengarkan kalimat demi kalimat yang disuarakan ayah satu anak itu. Singto lalu berdiri dari duduknya dan mendekat kearah Krist. Ia menyenderkan tubuh bagian kanannya di lemari pendingin sambil menyilangkan tangan didekapan.
” Sejujurnya saya ngga mengerti dengan standar orang-orang, Pak. Kenapa laki-laki harus suka menonton bola dan perempuan harus selalu bermain boneka-bonekaan. Saya pikir jika anak saya senang dengan apa yang dia lakukan sekarang, hal itu sudah cukup. Memangnya tidak boleh ya memiliki kesukaan yang berbeda? Kalaupun saya lebih suka mengoleksi boneka-boneka lucu, saya pikir orang lain tidak berhak menghakimi hobi saya. Benar begitu kan Pak Singto?” lalu yang dipanggil namanya berdehem.
” Ya saya pikir juga begitu. Hanya saja kadang anak kecil masih belum mengerti hal seperti itu, kita lah sebagai orang tua yang seharusnya membimbing mereka agar menjadi seseorang yang peka terhadap sesama” Singto semakin mendekati tubuh Krist yang terbalut apron lucu berumbai dengan warna peach. Apron itu memeluk lekuk tubuh Krist dengan amat pas. Kemeja garis putihnya agak mengerut di beberapa bagian. Singto juga kini menghimpit pinggang kecil yang diikat seutas tali apron. Kedua tangannya menelusup di samping kiri dan kanan.
” Awas pak Singto! Minyaknya panas.” Krist sedikit khawatir karena sekarang ia sedang menggoreng ayam. Akan tetapi bukan Pak Singto namanya kalau tidak nekat dalam urusan grepe-menggrepe.
Jemarinya menelusuri dari bagian bawah apron yang longgar. Naik keatas sedikit ke bagian perut, menggelitik dari luar kemeja baby blue garis putih milik Krist. Apron yang dikenakan sedikit berantakan dan naik. Telunjuk lelaki yang berada di belakang itu pun makin naik kearah kancing. Sedikit melenceng dari garis baju dan mencari keberadaan puting Krist yang mulai menegang. Setelah menemukan tonjolan kecil itu, ia sempat-sempatnya menghisap jari telunjuk dan jari tengahnya aktif. Hal ini menyebabkan kain yang melekat erat pada tubuh Krist semakin tersingkap lalu temalinya terbuai longgar.
Singto tarik lagi jari yang ia telah hisap tadi, kemudian mengarahkannya ke puting yang sudah ia ketahui letaknya. Ia tekan tepat di ujung putingnya yang mencuat. Jujur saja semenjak tadi Krist sudah menggeritkan gigi-giginya agar suara desahannya tidak terdengar hingga lantai atas.
Kakinya gemetar menahan beban tubuhnya yang sekarang sudah melebur. Ia bahkan sempat mengecilkan api kompor saat Singto sibuk menghisap.
Jari telunjuk Singto memutar di bagian luar puting pink kecoklatan milik ayah Fiat itu. Dan tanpa aba-aba dengan kemeja yang cukup basah karena saliva milik Singto, ia mencubit keras puting Krist.
“Ahnghhmmm- Pak!,” membuatnya kehilangan keseimbangan lalu menekan bokong sintalnya ke milik Singto yang terbungkus celana kain.
Kini kemeja+apron Krist benar-benar dalam masalah. Berantakan dan kusut dimana-mana.
“Pak Krist empuk ya” celetuknya tanpa berpikir.
Sedang Krist? Semakin riuh menggumam dan mendesahkan nikmatnya berkali-kali diusap, ditekan, lalu dipelintir. Mulai dari perlahan hingga tiba-tiba menjadi kencang.
“Sebentar Pak nanti ayamnya gosong biarkan saya mengangkatnya dulu” Krist kelabakan ketika menyadari ayam sedikit hangus di satu sisi.
Singto sih hanya menuruti. Namun tangannya tetap nakal dengan cara membuka ikatan dipinggul dan leher Krits. Ia juga tak lupa menggosok tangannya di pantat yang disuguhkan di depannya secara mantap lalu meremasnya gemas. Jarinya coba menelusup diantara belahan di sana dan mencoloknya walaupun harus kecewa karena jarinya tidak bisa masuk begitu dalam.
“Bentar ya- hnghhh- mpun, Pak. Hhhhh saya taruh ihnghh ini di meja ma-makan dulu” awalnya niat Krist begitu, tapi apa daya karena piring ditangannya diambil alih lalu ditaruh lagi di meja dapur.
Singto membalikkan tubuh Krist menghadapnya. Ia dengan lancar melucuti apron manis yang berantakan itu dari tubuh lawan mainnya. Apron itu tergeletak tanpa ampun di porselen abu-abu rumah ini.
Krist hanya bisa mencengkram kedua sisi di bagian pinggang tetangganya tersebut. Menahan hasratnya yang ingin meleleh.
“Pak Krist hati-hati jangan bersender. Di dekat bapak ada minyak.” Singto menggeser tubuh Krist agar lebih mudah beraksi.
Sesaat kemudian, tanpa banyak ba bi bu, ia menundukkan kepalanya tepat menghadap dada krist yang terbuka. Ia melahap puting Krist yang membayang karena berhasil ia basahi tadi.
Mengulum, menggerigiti kecil, menghisap, serta menjilat-jilat agresif puting itu sampai kemerahan. Kemeja Krist semakin basah. Saat mulutnya mengulum puting kanan, maka tangannya asik bergerilya di puting kiri. Begitu juga sebaliknya, saat ia puas dengan puting kanan, maka puting kiri jadi sasaran. Decakan liur Singto amat riuh.
“Singto... Singto...” gumamnya berkali-kali.
Krist semakin kehilangan kesadaran. Perasaan dikulum dari luar ini berbeda. Gesekan kemejanya yang kasar semakin menambah rasa nikmatnya. Ia tak bisa menahan napsunya lagi dan hampir menangis sampai suara langkah kaki kecil dari lantai atas terdengar ribut.
Krist kelabakan dan segera mendorong Singto menjauh lalu mengenakan apronnya kembali. Setidaknya agar tidak kelihatan bekas air liur tetangganya itu yang sampai sekarang masih terasa mencetak di tubuhnya.
“AYAAAAHH!! KOK NGGA BANGUNIN PIAT CIHH???! PIAT TELATTTT!!” Gerutu si kecil begitu sampai ke tangga terakhir.
“Hallo fiat selamat pagi!!” benar-benar muka dua, secepat itu dia kembali normal.
“Wahhh ada om Singtooo, ayah pasti gamau bangunin aku gara-gara ada om Singto. Ayah mau ambil om Singto sendiri kan?! Ngaku!” jeritnya kepada sang ayah yang buru-buru mengambil piring berisi ayam dan berjalan ke arah meja makan.
“Loh ayah? Kok pelindungnya kebalik? Salah masuk nii dasar ayah ceroboh” ujarnya menertawakan 'kecerobohan' ayahnya.
Well, mungkin nanti dia bisa menyelesaikan apa yang dibawah ini setelah Fiat berangkat dengan bis yang menjemputnya. Menggunakan setumpuk kondom yang mereka beli bersama setelah beberapa kali servis dan percobaan yang cukup membuat Krist tidak bisa bangun dalam beberapa jam. Dengan ranjang yang panas dan ac yang dingin. Ia bisa meminta izin tidak masuk hari ini. Selamat makan!