Koii

Welcomed to my own dark world ✨

malam. setelah pesta.

krist memasuki apartement yang ditinggali bersama dengan singto. jam menunjukkan hampir tengah malam. ia membuka sepatunya sedikit tipsy. limbung ke kanan dan hampir jatuh jika saja tangannya tidak meraih dinding.

ia memasuki rumah yang terlihat lebih rapi hari ini sampai-sampai ia tidak mengenali tempat tinggal mereka. suara percakapan berita terdengar sayup-sayup. di ruang keluarga ada seseorang yang sedang duduk santai diatas sofa sambil menonton acara televisi. tangannya mengetikkan sesuatu di layar gawainya.

“p'siing? belum bobo?” ia berjalan mendekat.

“kit? kenapa baru pulang? aku bahkan sampai meneror p'tay menanyakan kenapa kau belum pulang”

krist mendudukkan diri disamping singto lalu menyenderkan seluruh tubuhnya ke bahu pria yang lebih tua.

“maap phii, tadi kit diseret kesana kemari oleh phi phi yang lain. kit juga disuru narii hehe padahal kit ga pandai nari” sembari cemberut, ia mendusel ke arah leher abangnya.

“kamu minum kit?”

“iyaa kit ditawarin minumm, gabisa nolak soalnya udah lama ga minum wine. enak bangeeet”

“kamu minum banyak?” singto menyenderkan kepala ke kepala milik pacar manjanya ini.

“ngga kok, kit ingat kalau kit cuma minum segelas doang”

“ya kan ingatan kamu, kamu mana sadar kalau udah minum?”

“hehe maap phii, kit lupa”

sejenak mereka menyamankan posisi dan terdiam cukup lama.

“PHI SING!” hingga tiba-tiba krist memelototkan matanya dan berekspersi kaget yang cukup dramatis. ia melonjak. singto ikutan terkejut dari posisi nyamannya.

“kenapa? kenapa kit?”

“aku baru ingat ihhh” cemberut lagi. ia segera memanjat tubuh singto dan duduk dipangkuannya.

“ingat apa?” singto sih pasrah saja kalau kit sedang mode manja seperti ini ngga bisa dihentikan. krist membuka kancing bajunya satu persatu dan memperlihatkan tubuhnya yang putih dan sedikit terbentuk. kemeja merahnya mungkin akan jatuh melewati kulit lembut bayinya jika saja tidak tertahan oleh pakaian yang diselipkan ke dalam celana panjangnya.

“liyyat! badan kit meyah meyah! tadi kit mawu ngaduwin ituu” tangan krist sebelah kiri membuka kemejanya agar tetap menampakkan kemerahan di kulitnya sedangkan yang sebelahnya menunjuk-nunjuk beberapa tempat yang terlihat meradang.

YA AMPUN KALAU MODE MANJA V.2 BEGINI PASTI MUKA MASAMNYA AKAN MENJADI-JADI, LIHAT BIBIRNYA YANG MAJU 2 CENTI ITU, pikir singto.

“trus udah minum obatnya? bandel sih kamu udah tau alergi juga” singto menoel pipi dan hidung krist sekilas.

“udah kokk kit kan pinter hehee, p'sing bangga ngga ama aku?”

“iya sayangkuu” sebenarnya singto tidak terlalu fokus dengan pertanyaan krist. matanya sedari tadi mengintip ke dalam baju krist yang tanggal setengahnya.

krist sadar saat singto tidak menatap matanya saat menjawab, jadi ia ikuti arah pandang singto tertuju kemana. begitu ia menyadari singto menatap ke perut putihnya, ia mendeguk ludahnya kesulitan.

dengan gemetar diujung lidah ia panggil abangnya itu, “p'sing?”

“iya?” syukur singto masih bisa menahan hasrat yang hampir meluncur dari tenggorokannya.

“phi kalau mawu pegang bowleh kok. kit ijinin, tapi jangan kasar-kasaar yaa?” astaga, puppy eyes.

“gausah deh, kamu baru minum obatnya kan? alerginya masih belom hilang benar kit. kapan-kapan aja.”

“IHH KIT BILANG BOLWEH YA BOWLEHH!” kesalnya sambil meraih tangan singto untuk ditaruh diatas dadanya sendiri.

“loh kok kamu yang maksa?” singto tergelak “ini kamu ijinin apa kamu kepengen?”

“nda gituuu ih p'singgg” krist merengek dan sedikit bergoyang-goyang meminta singto menggerakkan jarinya.

singto mulai menarikan jemarinya melingkari sebuah lingkaran kecil sewarna merah kecoklatan. selagi singto terus menggelitik puting kecil itu, krist terus menatap dengan air liur yang mulai terkumpul di mulutnya.

hot. tangan singto yang kurus namun berurat dan panas.

krist mendongak ketika ia rasakan gerakan tangan kakak kelasnya dulu itu terhenti. mata keduanya berpandangan.

“kowk beentii” geram sekali krist saat permainan berhenti di tengah-tengah gejolak perutnya.

“kit beneran gamau bobo? udah jam segini loh?” senyuman kecil diujung bibir singto membuatnya lebih memanas, terasa seperti diremehkan. krist tentu tak terima, dengan sensual dia meremas milik abangnya itu.

“ndaaa p'sing cepetan gerak lagii” “p'sing bawah dikit” “p'singhmmhhh jilat trus phiii” “p'sing tiyyum pwyut kitnya” “geliii p'sing jangan dijilat disituu”

entah sudah berapa kali krist meneriakkan namanya, namun singto tak acuh turun naik mengelus semua yang bisa ia sentuh. melihat leher krist yang menganggur pun membuatnya segera mendatangi spot kesukaannya lalu mengendusi dan menciumi daerah itu liar. ia juga menerima permintaan krist untuk mencium perutnya yang masih beberkas kemerahan. sembari mencium sana sini, tangannya tak berhenti bergerak lalu membuka perlahan ikat pinggang yang melilit di sepanjang pinggang krist.

begitu selesai melepas ikat pinggang, kancing, serta resleting celana krist, tangan singto menyusup ke dalam celana itu. Perlahan, ia melepaskan sisa kemeja yang terhimpit. kerah merah baju krist jatuh ke pinggul dan perpotongan siku.

tangan singto bergerak lagi masuk ke dalam, meraih karet yang menyesakkan lalu melonggarkan sedikit agar bisa menyelip lebih dalam.

gotcha! sebuah rasa panas yang agak tegang teraba oleh jemarinya. ia mengelus sedikit memberi fraksi.

“ughh sempit sekali, kit. phi ngga bisa gerakin tangan phi sama sekali disini.” tangan singto mulai kebas setelah beberapa saat sebenarnya.

“sebentar phi” dengan cepat krist melompat ke belakang lalu meloloskan celananya tidak sabaran, begitu pula dengan celana dalamnya.

singto mengamati tindakan krist yang sembrono meninggalkan beberapa bekas merah kuku. oleh karena itu dengan segera dia lingkupi pinggul kesukaannya itu dengan tangannya yang panas. mengelus pelan berharap cepat hilang.

“kit, padahal tadi bisa pelan-pelan kok. phi ngga kemana-mana” sedangkan yang diajak omong hanya menyengir lucu.

singto kembali fokus ke mainan kesukaannya yang sudah terekspos udara luar. setengah menegak dengan warna agak kemerahan. ia meludahi telapak tangannya lalu mengurut penis milik krist. pertama-tama amat pelan hingga krist sedikit tersengal. engasan suara pacarnya itu menjadi-jadi ketika ia bermain dengan kepala penisnya, memutarinya sedikit dengan telapak tangan. tak lupa ia juga bermain di pangkal penis krist beserta bolanya.

“phii hhhhnn ennak” desahnya.

singto masih kurang puas ketika krist hanya mengeluarkan sedikit precum yang meleleh lambat di pahanya. jadi, dengan inisiatif ia membuka pahanya sendiri yang otomatis ikut memaksa krist mengangkangkan pahanya dan meninggalkan sebuah space besar yang cukup ia selipi tangannya.

dengan cepat ia gantikan tugas tangan kanan yang memberi handjob ke pacarnya ini menjadi tangan kiri. sedang tangannya yang kini terbebas, gantian menelusup kebawah kangkangan krist. jari tengahnya meraba-raba mencari lubang milik kekasihnya.

agak lama ketemu, sengaja menggoda krist. desahan krist semakin menjadi ketika akhirnya singto menemukan kerutan yang sudah tidak sabar menelan jari panjang miliknya.

“phi masukiin” krist mendorong pantatnya kebawah agar bisa segera memasukkan jari itu kedalam.

“bentar kit” tapi tetap saja tanpa aba-aba memasukkan jari tengahnya.

jari itu keluar masuk dengan konstan seirama erangan krist. singto menambahkan satu persatu jarinya yang lain hingga berjumlah 3, menusuk lebih kencang kali ini, membuka dan meregangkan lubang krist.

lengan singto agak pegal sekarang, tapi ia menganggap kegiatan mereka ini olahraga yang bisa menambah massa ototnya.

precum krist semakin banyak hingga terus menetes lolos melewati celana singto dan mengotori sofa beludru mereka. beberapa ada yang jatuh ke celana singto hingga sedikit basah.

“phi singg teusss kit mawu keluwarr hhhh” krist memeluk leher singto berpegangan sehingga suara manjanya yang indah tepat masuk ke rongga telinga singto. singto sendiri semakin semangat 45 memberi rasa enak ke pacar manisnya ini.

saat ia rasakan perutnya mengaduk-aduk dan tegang sepenuhnya, krist semakin kuat berpegangan kepada singto. krist mengejang pelan ketika sudah sampai, air maninya menyembur kemana-mana baik baju, celana mereka berdua hingga sofa yang tengah menjadi saksi bisu rasa panas hari ini. nafas krist terdengar putus-putus dan tubuhnya naik turun dengan kuat.

“phi siingg cwapekkk ueee” singto terkekeh ketika didengarnya krist heboh mendemo. salah siapa coba?

jadi dengan pelan, ia lepaskan pelukan krist lalu memindahkan tubuh lemas pacarnya ke sofa lalu membereskan kekacauan dengan tisu basah yang ada di meja ruangan itu. ia elap kemaluan krist yang becek kemerahan sedangkan pemiliknya terdengar mendengkur halus. singto buka baju krist yang kotor lalu meletakkannya di lantai.

singto agak ragu apakah ia bisa memindahkan tubuh krist tanpa kesulitan mengingat tubuh bayinya yang agak sedikit bongsor dibandingkan dia. singto berpikir cukup lama di depan tubuh telanjang krist lalu dengan cepat melesat ke dalam kamar tidur untuk mengambil selimut. ia tutupi krist dengan selimut lalu pergi ke keranjang cucian untuk melepaskan pakaiannya dan memasukkan serta pakaian krist.

ia kembali lagi ke sofa setelah berpakaian lalu menaikan ac agar tidak terlalu dingin dan ikut serta tidur di samping krist yang sudah terlelap lama. singto memeluk erat krist dan menciumi wajah tidur pacarnya yang cantik. ciuman terakhir tepat di bibir merah mungil itu.

“selamat malam sayangku. semoga kebahagiaan selalu menjadi bagian dari hidupmu”

🌄 first ekhem ekhem🌄 – -

Singto sedang bermain ponselnya sambil telentang kala itu. Ia melepas penatnya yang entah kenapa terasa 2x lipat dari biasanya. Pintu kamarnya dia biarkan terbuka setengah agar angin sepoi-sepoi bebas keluar masuk kamarnya yang ada di lantai 2.

Singto sedang membalas pesan dari teman-teman satu gengnya ketika ia merasa ada seseorang yang sedang melihatnya dari arah pintu masuk.

Disana Krist sedang berdiri diam tanpa mengatakan apa-apa. Mereka berdua saling berbalas tatapan hingga beberapa menit. Singto mengira-ngira apa yang akan dilakukan anak kecil itu. (Padahal keduanya hanya beda satu tahun)

Krist melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar singto. Lalu tangannya meraih gagang pintu dan menutupnya dari dalam. Si pemilik kamar mulai was-was saat didengarnya bunyi pintu yang terkunci pelan. Ia memaksa tubuhnya yang lelah untuk duduk dari rebahan.

“Krist? Mau apa kau masuk kemari?” Iya, singto takut jika ternyata kit masuk kamar untuk membalas dendam kepadanya pasal masalah kemarin.

Sementara yang ditanya hanya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Singto yang semakin cemas, menyeret tubuhnya menyudut hingga ke headboard.

“Krist kalau kau mau balas dendam dan melakukan kekerasan kepadaku akan kuadukan kau kepada ibumu kalau kau melanggar-” Singto seperti sedang latihan rap sekarang saking paniknya. Suaranya mendecit diakhir kalimat.

Ucapannya terhenti seketika ia melihat pemandangan di depannya. Krist sedang menurunkan celana kebesaran milik ohm yang dihibahkan tahun lalu. Perlahan. Memperlihatkan kaki jenjang sewarna susu.

Sedangkan singto? Biarkan saja, dia sedang tersedak air ludahnya sendiri.

Apakah krist sudah tahu kalau kemarin dia kepayahan begitu melihat kaki putih itu? Singto semakin panik tentu, bisa saja krist memberitahu teman-teman SMP nya lalu dia akan dicap sebagai laki-laki mesum yang menyukai paha asistennya sendiri.

Saat pikiran singto sedang mengawang, kit bergerak semakin mendekat. Malahan sekarang lelaki kecil itu sedikit sedikit membawa kakinya naik ke kasur. Saat singto tersadar, krist sudah mendudukan tubuhnya keatas pinggang yang terbaring pasrah.

Singto hampir memekik ketika dirasakannya krist bergerak tepat di kemaluannya. Telapak tangannya cepat mencengkram pinggul krist yang tertutupi celana bokser.

“Khh-krisht”

Sebuah tangan tak kalah putihnya perlahan ikut andil turun menuju selatan miliknya -dengan masih menggesekkan pantatnya ke kemaluan singto. Singto hampir menangkap tangan ramping itu ketika kedua tangan menahan tangannya kemudian menyelipkan ke paha mulus yang menimpanya.

Sungguh sebuah cobaan.

Antara sadar dan tidak, krist menurunkan karet celana abu-abu singto. Pelan tapi pasti lelaki yang berumur setahun lebih muda itu turun dari pangkuan yang sejak tadi ia tempati. Kepala menunduk tepat di depan kemaluan singto.

Napas putus-putus milik krist menggelitik penisnya. sembari ia bersimpuh dihadapan penis yang belum sepenuhnya tumbuh itu, tangan krist mulai menyentuh kepala bagian bawah sedikit demi sedikit. Singto meski malu-malu dan kaget, ia tetap mencoba mengintip dengan kedua siku menahan kedua bobot tubuhnya. Tidak pernah sekalipun penisnya dipegang sebegitu apik oleh orang selain dirinya sendiri dan ibunya.

“Krist... hkkhh itu kotor-” Sedangkan ia sedikit mendesah dan tercekik suaranya sendiri, singto terpukau dengan aksi yang sedari tadi diperbuat asisten kecilnya ini. Mulai dari membuka celananya hingga jari telunjuk memutar diatas lubang kencingnya.

Singto melemparkan kepala kebelakang tepat ketika krist mencoba memasukkan keseluruhan batangan itu ke dalam mulut kecilnya. Desahan putus-putus terdengar semakin kencang dari mulut singto.

“Kthor krist krist hkkhh” Tanpa mengidahkan apapun krist malah gencar menghisap kesepanjangan daging milik singto.

Krist mengulum kepalanya lalu mengelilingi benda itu dengan lidahnya. Ia kembali menyedot saat puas memanjakan dengan lidah. Singto yang keenakan mulai balik lagi mengintip apa yang sedang dikerjakan laki-laki dibawah pinggulnya kini. Jantung yang lebih tua hampir jatuh kebawah ketika pandangan keduanya saling menatap kala singto mencoba melihat. Tapi toh tetap saja ia menikmati pemandangan dibawah sana.

Singto tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dan apa yang sedang dilakukan oleh krist saat ini. Yang dia tau hanya lah dia sangat menyukai hangat dan basah mulut bagian dalam krist. Keringat mengucur deras di keningnya.

Singto ingin menggerakan pinggulnya -ia melakukannya lambat-lambat takut krist menyadari aksinya lalu mengejeknya mati-matian di depan seluruh sekolah. Begitu ia merasakan enak lebih dari yang ia bayangkan, singto tak peduli dengan harga dirinya lagi. Rasa nikmatnya candu!

Air liur krist berceceran jatuh melewati bibir pink manisnya. Membasahi penis singto yang menambah sensasi licin sehingga gerakan naik turun mulutnya menjadi-jadi. Pipi krist sedikit kemerahan, singto tidak tahu apakah sedari dulu pipi bulat itu memang sudah berwarna peach ataukah karena penisnya yang berkali-kali menghujam pipi bagian dalam krist hingga terkadang pipi yang memang sudah gembil itu mencetak kepala penisnya?

Singto masih mendesah saat krist menghisap, mengulum, menggesekkan penisnya dengan lidah hangatnya. Tuan muda itu tidak mengerti dan tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan ini tapi rasanya sangat amat nikmat memaksanya menggelung jari-jari kakinya.

“KIT STOP KITTTHHH SETOOPPP AKU- AKU MAWU PIPISSS” Bukannya berhenti, hisapan krist makin menjadi. Tangan singto mencengkram erat seprai dibawahnya hingga kusut masai.

Singto mau tak mau menumpahkan 'pipis'nya diwajah bersemu milik krist. Entah sengaja atau tidak, tepat cairan dari kemaluannya itu meluap, krist segera mengeluarkan batang singto dari mulut hangatnya hingga cairan putih yang keluar merembes dari bibirnya. Cairan itu tak hanya tumpah mengotori mulut dan sprei saja tetapi juga rambut legam, baju serta paha krist yang mulus.

Dada keduanya naik turun kehabisan napas. Krist masih bertahan dengan posisi tadi, namun kali ini lelaki itu menutup matanya cantik sembari sedikit membuka mulut mungilnya yang membengkak kemerahan masih tepat di depan penis singto.

WAIT- TUNGGU! apa?! Cantik?! Singto pasti sekarang sudah kehilangan kewarasannya. Tangannya menutup wajah dan tanpa banyak omong segera membanting tubuhnya ke kasur.

Tepat dengan itu, Tiba-tiba tubuhnya terasa seperti disedot kuat lalu kembali terbanting kedua kalinya di kasur. Singto terenggut dari mimpinya. dari mimpinya.

kaget. benar, singto kaget sekali saat tersentak dari tidurnya. ia langsung terduduk.

'ya ampun syukur lah hanya mimpi' pikirnya.

namun begitu selimut disingkap dan ia bergerak dari posisinya tadi, wajahnya langsung pucat pasi. celana tidurnya terasa basah dan lengket. perlahan-lahan di bagian alat kelaminnya membentuk sebuah pulau.

inginnya sih tetap ditempat tidur saja agar 'pipis'nya tidak berjatuhan ke lantai. tapi mana bisa ia membiarkan pipisnya menyentuh kasur?!!

yah, pilih yang mana pun tetap akan merugikan jadi ia pikir mungkin dia bisa berlari ke kamar mandi kamarnya supaya tidak banyak yang berceceran.

baru saja ia berdiri-

“abang lama banget bangunnya? ABANG?!!” teriak namtan begitu ia membuka pintu dan penampakan singto dengan celana tidurnya yang basah tepat di depan matanya.

“AYAH BANG SINGTO NGOMPOLLLL” teriaknya yang kedua kali namun lebih menggelegar kali ini membuat singto mau tak mau melompat kembali ke kasur dan menutupi celananya yang sekarang sudah becek.

ARGHHH BENAR-BENAR ANAK INI!!

👆first boner👆 – -

“Nih ya, taruhan sama gue. Tu bocah bego bakalan ngelakuin apa aja yang lo suruh. Percaya gak?”

“agak ngga percaya sih yak, buktiin dulu dong” tawa anak-anak lelaki pecah saling bersahutan.

“sabar bro, lagi dipanggil anaknya” singto meletakkan hp blackberry hitamnya ke meja yang menampilkan percakapannya dengan seseorang.

Singto saat itu sedang duduk santai bersama teman-temannya di belakang taman rumah. 2 orang. Memiliki orang tua yang kaya pula. Bisa dibilang mereka berdua ini setara dengannya. Banyak adik kelasnya yang menyebut kumpulan ini sebagai tiga serangkai. Sudah ganteng, pintar, orang tuanya berpengaruh pula.

“eh datang tuh” seru salah satu dari mereka.

“bused banyak banget bawaannya neng, minta bantuin kagak?” teriak jay mengejek krist yang kepayahan membawa satu kantong penuh makanan ringan dan nampan yang berisi satu pot air sirup serta 3 buah gelas plastik dengan kedua tangan kecilnya. Langkahnya terlihat oyong dari tempat duduk mereka.

Krist sama sekali tidak membalas perkataan itu dan dengan wajah datar membawa semuanya ke meja ketiga lelaki manja itu.

“benar benarr, tuangkan airnya untukku, Kittykittycat” “Hahahah nama apa itu” singto mengernyit agak terganggu dengan suara tertawaan mereka. Seperti suara tikus mencicit kesetanan.

Sebenarnya ia lebih suka sendirian di perpustakaan membaca buku lalu mendekam disana hingga larut malam. Tapi terkadang remaja tanggung sepertinya tentu memiliki permasalahan tentang pergaulan. Orang-orang disekitarnya selalu berkata jikalau pertemanan itu penting. Dia dipaksa untuk memiliki teman sejati. Semuanya terlalu glorifying sebuah hubungan bernama “sahabat”. Mau tidak mau singto menanamkan di kepalanya bahwa ia harus melayani temannya agar tidak ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya.

“singto apaan cuma gini doang?” “lagi singtooo” ah.. rengekan ini menyebalkan.

Kedua temannya menarik singto dari duduknya dan mendorongnya mendekati krist.

“krist?” panggilnya. “iya, tuan muda?” krist berada di tengah jembatan kecil menyebrangi kolam air yang penuh ikan, terhenti begitu mendengar panggilan dari singto.

Mereka saling berpandangan untuk beberapa saat. Mata bening yang berkilauan itu, singto terusik melihatnya. Ia mengingat setahun lalu ketika ia merasa kalah dari lelaki manis di depannya ini. Singto menggerit.

“krist, aku kehilangan jam tanganku di kolam ikan. Sepertinya jatuh di kolam ikan barusan. Bisa kau carikan?”

Krist terdiam, kepalanya memiring 25 derajat ke kiri. Matanya menatap pergelangan tangan kanan singto yang segera disembunyikan oleh pemiliknya ke balik tubuhnya. Singto gugup setengah mati berpikir krist akan menolak perintahnya lalu membuatnya malu dihadapan ‘sahabat-sahabatnya’. Tanpa diduga krist mengangkat wajahnya lalu menatap mata singto lagi. Mengedip dua kali lalu berjalan mendekati singto.

Awalnya dia berpikir jika anak itu akan memukulnya, menamparnya atau bahkan lebih parah mencekiknya. Tapi kenyataannya, krist berbelok menuju kolam ikan, membuat yang memerintah terkejut.

Krist mengobok-obok kolam itu sudah hampir setengah jam. Meski kolamnya bening dan airnya bersih, tentu saja krist tidak akan pernah berakhir menemukan jam tangan itu kan?

singto agak khawatir tapi tetap memasang wajah tanpa ekspresi nya sambil duduk di kursi yang semenjak tadi ia tempati. air kolam biasanya sangat dingin di hari biasa dan matahari jam segini amat terik. ketiga tuan muda kaya itu sedari awal sudah berlindung di bawah bayangan atap gazebo.

5 menit berlalu dan krist masih berkutat memelototi air kolam yang transparan. singto melonjak dari kursinya tak tahan.

“krist-” “apaan singto masih belum dikit lagi ahh” tahan kawannya pada bahu singto. “aku menemukan jam tanganku.. ternyata terjatuh di bawah meja” “singto mah ga asik dih”

krist menatap lagi singto kalo ini lama. ia tersenyum dengan teduh. matanya sedikit menyipit karena sinar matahari membuat keringat jatuh ke sudut matanya.

“begitu kah tuan muda?” singto terperangah.

“y.. ya. pulanglah” “baiklah”

krist yang berada di tengah kolam, perlahan menggerakkan kakinya menuju tepian. hati-hati agar tidak menginjak satupun ikan yang tinggal disana. ketika tiba di tepian kolam, berhadapan dengan singto, krist tidak segera meninggalkan tempat itu. dengan pelan, krist menyingkap celananya yang oversized. singto tak pernah mengetahui sebelumnya, dibalik pakaian bekas masnya terdapat kaki jenjang krist yang putih melepuk (;putih banget). krist memeras air kolam dari celananya satu persatu. air mengalir membasahi kaki putihnya hingga terlihat berkilauan ditimpa matahari.

singto meneguk air liurnya entah kenapa. wajahnya memanas hebat. oohh andaikan singto bisa mengelus betis indahnya lalu meremas paha krist tanpa malu. 'TIDAK SINGTO. BODOH BANGSAT APA YANG KAU PIKIRKAN.' singto menggeleng-gelengkan kencang kepalanya bagai penyanyi band metal. tapi tangannya tanpa sadar sudah sedikit meraih jika saja tangan kanannya itu tidak dipukul menggunakan tangan kirinya, pasti ia sudah merasakan kulit lembut itu dibawah sentuhannya.

teman-teman singto bergerak kesana kemari demi melihat apa yang sedang terjadi disana lalu saling menatap ketika menyadari tidak bisa melihat apa-apa.

“CEPAT MASUK KRIST!” bentak singto seraya menjatuhkan ujung celana krist agar kembali menutupi kakinya sedangkan yang dibentak hanya tersentak lalu segera berlari melintasi jembatan untuk kembali ke dapur rumah kebesaran.

“singto” temannya memanggilnya merasa tindak tanduk singto amat aneh. “ah lu mah ga asik. masih mau temenan ngga sih?” potong satunya meremehkan.

“pulang kalian! gue mau istirahat!” singto meneriaki balik teman-temannya. dirinya sendiri dengan cepat menyusuri jembatan dan lorong panjang menuju kamarnya ;meninggalkan temannya.

ah sial. dia mau pipis.

👆first boner👆

“Nih ya, taruhan sama gue. Tu bocah bego bakalan ngelakuin apa aja yang lo suruh. Percaya gak?”

“agak ngga percaya sih yak, buktiin dulu dong” tawa anak-anak lelaki pecah saling bersahutan.

“sabar bro, lagi dipanggil anaknya” singto meletakkan hp blackberry hitamnya ke meja yang menampilkan percakapannya dengan seseorang.

Singto saat itu sedang duduk santai bersama teman-temannya di belakang taman rumah. 2 orang. Memiliki orang tua yang kaya pula. Bisa dibilang mereka berdua ini setara dengannya. Banyak adik kelasnya yang menyebut kumpulan ini sebagai tiga serangkai. Sudah ganteng, pintar, orang tuanya berpengaruh pula.

“eh datang tuh” seru salah satu dari mereka.

“bused banyak banget bawaannya neng, minta bantuin kagak?” teriak jay mengejek krist yang kepayahan membawa satu kantong penuh makanan ringan dan nampan yang berisi satu pot air sirup serta 3 buah gelas plastik dengan kedua tangan kecilnya. Langkahnya terlihat oyong dari tempat duduk mereka.

Krist sama sekali tidak membalas perkataan itu dan dengan wajah datar membawa semuanya ke meja ketiga lelaki manja itu.

“benar benarr, tuangkan airnya untukku, Kittykittycat” “Hahahah nama apa itu” singto mengernyit agak terganggu dengan suara tertawaan mereka. Seperti suara tikus mencicit kesetanan.

Sebenarnya ia lebih suka sendirian di perpustakaan membaca buku lalu mendekam disana hingga larut malam. Tapi terkadang remaja tanggung sepertinya tentu memiliki permasalahan tentang pergaulan. Orang-orang disekitarnya selalu berkata jikalau pertemanan itu penting. Dia dipaksa untuk memiliki teman sejati. Semuanya terlalu glorifying sebuah hubungan bernama “sahabat”. Mau tidak mau singto menanamkan di kepalanya bahwa ia harus melayani temannya agar tidak ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya.

“singto apaan cuma gini doang?” “lagi singtooo” ah.. rengekan ini menyebalkan.

Kedua temannya menarik singto dari duduknya dan mendorongnya mendekati krist.

“krist?” panggilnya. “iya, tuan muda?” krist berada di tengah jembatan kecil menyebrangi kolam air yang penuh ikan, terhenti begitu mendengar panggilan dari singto.

Mereka saling berpandangan untuk beberapa saat. Mata bening yang berkilauan itu, singto terusik melihatnya. Ia mengingat setahun lalu ketika ia merasa kalah dari lelaki manis di depannya ini. Singto menggerit.

“krist, aku kehilangan jam tanganku di kolam ikan. Sepertinya jatuh di kolam ikan barusan. Bisa kau carikan?”

Krist terdiam, kepalanya memiring 25 derajat ke kiri. Matanya menatap pergelangan tangan kanan singto yang segera disembunyikan oleh pemiliknya ke balik tubuhnya. Singto gugup setengah mati berpikir krist akan menolak perintahnya lalu membuatnya malu dihadapan ‘sahabat-sahabatnya’. Tanpa diduga krist mengangkat wajahnya lalu menatap mata singto lagi. Mengedip dua kali lalu berjalan mendekati singto.

Awalnya dia berpikir jika anak itu akan memukulnya, menamparnya atau bahkan lebih parah mencekiknya. Tapi kenyataannya, krist berbelok menuju kolam ikan, membuat yang memerintah terkejut.

Krist mengobok-obok kolam itu sudah hampir setengah jam. Meski kolamnya bening dan airnya bersih, tentu saja krist tidak akan pernah berakhir menemukan jam tangan itu kan?

singto agak khawatir tapi tetap memasang wajah tanpa ekspresi nya sambil duduk di kursi yang semenjak tadi ia tempati. air kolam biasanya sangat dingin di hari biasa dan matahari jam segini amat terik. ketiga tuan muda kaya itu sedari awal sudah berlindung di bawah bayangan atap gazebo.

5 menit berlalu dan krist masih berkutat memelototi air kolam yang transparan. singto melonjak dari kursinya tak tahan.

“krist-” “apaan singto masih belum dikit lagi ahh” tahan kawannya pada bahu singto. “aku menemukan jam tanganku.. ternyata terjatuh di bawah meja” “singto mah ga asik dih”

krist menatap lagi singto kalo ini lama. ia tersenyum dengan teduh. matanya sedikit menyipit karena sinar matahari membuat keringat jatuh ke sudut matanya.

“begitu kah tuan muda?” singto terperangah.

“y.. ya. pulanglah” “baiklah”

krist yang berada di tengah kolam, perlahan menggerakkan kakinya menuju tepian. hati-hati agar tidak menginjak satupun ikan yang tinggal disana. ketika tiba di tepian kolam, berhadapan dengan singto, krist tidak segera meninggalkan tempat itu. dengan pelan, krist menyingkap celananya yang oversized. singto tak pernah mengetahui sebelumnya, dibalik pakaian bekas masnya terdapat kaki jenjang krist yang putih melepuk (;putih banget). krist memeras air kolam dari celananya satu persatu. air mengalir membasahi kaki putihnya hingga terlihat berkilauan ditimpa matahari.

singto meneguk air liurnya entah kenapa. wajahnya memanas hebat. oohh andaikan singto bisa mengelus betis indahnya lalu meremas paha krist tanpa malu. 'TIDAK SINGTO. BODOH BANGSAT APA YANG KAU PIKIRKAN.' singto menggeleng-gelengkan kencang kepalanya bagai penyanyi band metal. tapi tangannya tanpa sadar sudah sedikit meraih jika saja tangan kanannya itu tidak dipukul menggunakan tangan kirinya, pasti ia sudah merasakan kulit lembut itu dibawah sentuhannya.

teman-teman singto bergerak kesana kemari demi melihat apa yang sedang terjadi disana lalu saling menatap ketika menyadari tidak bisa melihat apa-apa.

“CEPAT MASUK KRIST!” bentak singto seraya menjatuhkan ujung celana krist agar kembali menutupi kakinya sedangkan yang dibentak hanya tersentak lalu segera berlari melintasi jembatan untuk kembali ke dapur rumah kebesaran.

“singto” temannya memanggilnya merasa tindak tanduk singto amat aneh. “ah lu mah ga asik. masih mau temenan ngga sih?” potong satunya meremehkan.

“pulang kalian! gue mau istirahat!” singto meneriaki balik teman-temannya. dirinya sendiri dengan cepat menyusuri jembatan dan lorong panjang menuju kamarnya ;meninggalkan temannya.

ah sial. dia mau pipis.

🧶They have ever so in tension🧶

“SINGTO GAMAU SATU SEKOLAH SAMA KRIST!!” “KALAU KAK KIT NGGA SATU SEKOLAHAN SAMA ABANG ARTINYA AKU JUGA GA MASUK SEKOLAH ITU DONG!!” “BIARIN!! ABANG POKOKNYA GAMAU!! ESDE ABANG UDAH SATU SEKOLAHAN MASAK ESEMPE JUGA?!” “YA KAN MAKSUD AYAH BIAR SEKALIAN DIANTERIN!!” Tuang ruangroj hanya bisa memijit pelipisnya mendengar teriakan kedua anaknya di depan meja kerja. Dari pagi-pagi buta tadi mereka sudah cekcok. Singto yang enggan satu SMP dengan krist, dan namtan yang tidak bisa lepas dari krist.

“ABANG JAHAT SAMA KAK KIT! EMANGNYA KAK KIT NGAPAIN ABANG SIH?!” “GARA-GARA KRIST ABANG DIOLOK-OLOKIN SAMA TEMEN SEKELAS ABANG KATANYA ABANG MAENNYA SAMA PEMBANTU!” “NAMA KAK KIT ITU KIT ABANG BUKAN KRIST, KAK KIT BUKAN PEMBANTU!!” mata namtan sudah memerah antara ingin menangis dan kesal sedari tadi abangnya tidak mengerti dengan perkataannya.

“TERSERAH!!” mendengar kata yang keluar dari mulut abangnya, kemarahan namtan semakin menggebu, tangan kecilnya meraih barang terdekat dari jangkauan -yaitu sebuah tempat lilin yang memiliki ujung lancip. Ia sudah ancang-ancang melempar saat ayahnya dengan cepat merampas benda itu dari tangannya. Di sisi lain singto sudah memeluk tubuhnya sendiri bersiap melindungi dirinya dari amukan namtan yang mengerikan.

“Namtan” Tegur sang kepala keluarga menatap tajam ke dalam mata anak perempuannya.

“AYAH TAPI KAN-”

“Namtan ayah tidak pernah mengajarimu melakukan kekerasan. Bukankah namtan tau itu?” Rengekan putri bungsu nya tidak didengar meski suaranya amat menyedihkan.

Namtan yang tau tidak akan dibela oleh ayahnya pun menghentakan kakinya berlari menuju pintu keluar. Air mata dari kedua belah rinainya meleleh sangat deras.

Begitu dibuka terlihat masnya, dan kedua ibu anak yang sedang berdiri menguping percakapan. Bi tira mendekap punggung anaknya menggunakan tangan kirinya agar tetap berada di samping. Namtan yang melihat krist tanpa babibu lagi melompat untuk langsung menyergap memeluknya erat.

“Kak kitttt” Tersedu-sedu.

Sedang yang dipeluk hanya memasang wajah datarnya menatap kemarahan tuan ruangroj dan tuan muda yang menoleh kepadanya tidak suka. Keduanya melamun memikirkan hal yang pastinya berbeda.

Singto tersentak dari pandangannya yang beradu tatap dengan krist ketika suara ayahnya membanting tempat lilin ke meja kerjanya kencang. Ia balik menatap sang ayah.

“Singto siapa yang mengajarkanmu begitu? Apakah ayah mengajarkanmu bertindak kasar dan tidak sopan seperti itu? Apakah ada seseorang yang pernah mengajarkanmu menjadi begini?! Apakah kalimat ayah kurang jelas kalau adikmu dan kit akan bersekolah di SMP yang sama denganmu?! Atau kau yang ingin berhenti sekolah supaya tidak satu smp lagi dengan kit, iya?!” Singto menundukkan kepalanya saat mendengar nada bicara ayahnya yang begitu murka.

“JAWAB SINGTO!”

“tidak ayah.” Singto merasa kecil dihadapan ayahnya. Bisa apa ia masih muda dan tidak tau apa-apa ini? Kabur? Yang ada dia bisa mati kelaparan di luar sana.

Tuan ruangroj masih menjelaskan berapa salahnya perbuatan singto dan ia yang harus meminta maaf kepada krist serta ibunya ketika mata krist dan singto bertemu pandang lagi saat singto melirik ke arah pintu.

Kedua binar milik krist yang indah tidak bisa mengalahkan tatapan kebencian yang dilayangkan oleh singto.

Terkadang lingkungan yang kotor memang memaksa seseorang untuk berubah menjadi kotor pula.

“SINGTO GAMAU SATU SEKOLAH SAMA KRIST!!” “KALAU KAK KIT NGGA SATU SEKOLAHAN SAMA ABANG ARTINYA AKU JUGA GA MASUK SEKOLAH ITU DONG!!” “BIARIN!! ABANG POKOKNYA GAMAU!! ESDE ABANG UDAH SATU SEKOLAHAN MASAK ESEMPE JUGA?!” “YA KAN MAKSUD AYAH BIAR SEKALIAN DIANTERIN!!” Tuang ruangroj hanya bisa memijit pelipisnya mendengar teriakan kedua anaknya di depan meja kerja. Dari pagi-pagi buta tadi mereka sudah cekcok. Singto yang enggan satu SMP dengan krist, dan namtan yang tidak bisa lepas dari krist.

“ABANG JAHAT SAMA KAK KIT! EMANGNYA KAK KIT NGAPAIN ABANG SIH?!” “GARA-GARA KRIST ABANG DIOLOK-OLOKIN SAMA TEMEN SEKELAS ABANG KATANYA ABANG MAENNYA SAMA PEMBANTU!” “NAMA KAK KIT ITU KIT ABANG BUKAN KRIST, KAK KIT BUKAN PEMBANTU!!” mata namtan sudah memerah antara ingin menangis dan kesal sedari tadi abangnya tidak mengerti dengan perkataannya.

“TERSERAH!!” mendengar kata yang keluar dari mulut abangnya, kemarahan namtan semakin menggebu, tangan kecilnya meraih barang terdekat dari jangkauan -yaitu sebuah tempat lilin yang memiliki ujung lancip. Ia sudah ancang-ancang melempar saat ayahnya dengan cepat merampas benda itu dari tangannya. Di sisi lain singto sudah memeluk tubuhnya sendiri bersiap melindungi dirinya dari amukan namtan yang mengerikan.

“Namtan” Tegur sang kepala keluarga menatap tajam ke dalam mata anak perempuannya.

“AYAH TAPI KAN-”

“Namtan ayah tidak pernah mengajarimu melakukan kekerasan. Bukankah namtan tau itu?” Rengekan putri bungsu nya tidak didengar meski suaranya amat menyedihkan.

Namtan yang tau tidak akan dibela oleh ayahnya pun menghentakan kakinya berlari menuju pintu keluar. Air mata dari kedua belah rinainya meleleh sangat deras.

Begitu dibuka terlihat masnya, dan kedua ibu anak yang sedang berdiri menguping percakapan. Bi tira mendekap punggung anaknya menggunakan tangan kirinya agar tetap berada di samping. Namtan yang melihat krist tanpa babibu lagi melompat untuk langsung menyergap memeluknya erat.

“Kak kitttt” Tersedu-sedu.

Sedang yang dipeluk hanya memasang wajah datarnya menatap kemarahan tuan ruangroj dan tuan muda yang menoleh kepadanya tidak suka. Keduanya melamun memikirkan hal yang pastinya berbeda.

Singto tersentak dari pandangannya yang beradu tatap dengan krist ketika suara ayahnya membanting tempat lilin ke meja kerjanya kencang. Ia balik menatap sang ayah.

“Singto siapa yang mengajarkanmu begitu? Apakah ayah mengajarkanmu bertindak kasar dan tidak sopan seperti itu? Apakah ada seseorang yang pernah mengajarkanmu menjadi begini?! Apakah kalimat ayah kurang jelas kalau adikmu dan kit akan bersekolah di SMP yang sama denganmu?! Atau kau yang ingin berhenti sekolah supaya tidak satu smp lagi dengan kit, iya?!” Singto menundukkan kepalanya saat mendengar nada bicara ayahnya yang begitu murka.

“JAWAB SINGTO!”

“tidak ayah.” Singto merasa kecil dihadapan ayahnya. Bisa apa ia masih muda dan tidak tau apa-apa ini? Kabur? Yang ada dia bisa mati kelaparan di luar sana.

Tuan ruangroj masih menjelaskan berapa salahnya perbuatan singto dan ia yang harus meminta maaf kepada krist serta ibunya ketika mata krist dan singto bertemu pandang lagi saat singto melirik ke arah pintu.

Kedua binar milik krist yang indah tidak bisa mengalahkan tatapan kebencian yang dilayangkan oleh singto.

Terkadang lingkungan yang kotor memang memaksa seseorang untuk berubah menjadi kotor pula.

🦁How Singto met Kit🦁 – -

Singto saat itu masih muda. 6 tahun bukanlah umur yang cukup dewasa untuk menerima rangkaian hidup yang cukup menyulitkan. Ibunya meninggalkannya bersama ayah dan dua saudaranya. Lari bersama seorang pelayan muda yang dipekerjakan oleh ayahnya.

Yang ia tidak mengerti adalah kenapa ibunya meninggalkannya tanpa membawanya serta? Singto kira dia adalah anak kesayangan ibunya. Ia berperilaku manis dan menurut kepada ibunya. Tapi kenapa Singto ditinggalkan bersama ayahnya yang lebih menyayangi kakak laki-lakinya yang pintar dan adik perempuannya yang manis. Pertanyaan kenapa itu menghantuinya hingga kini.

Rumahnya terasa dingin dan membosankan. Lorong-lorong gelap -yang pada awalnya memang gelap- kini berubah menjadi lebih mengerikan. Biasanya pada malam hari ibunya akan mendatangi kamarnya lalu mendongengkan beberapa cerita karena singto agak rewel jika tidur sendirian. Setelah kepergian ibunya, singto akan tidur diatas jam 10 sambil mengeratkan kasurnya berharap tidak ada hantu yang akan mengambil anak kesepian sepertinya (Ah terkadang singto berharap dimalam tertentu hantu akan menculiknya lalu membawanya pergi ke dunia permen yang menyenangkan akan tetapi begitu mengingat gambaran hantu di televisi yang menyeramkan, maka dia akan berakhir ketakutan sendiri).

Selama hampir setahun rumahnya benar-benar seperti suasana berkabung. Ibunya dianggap mati oleh ayah mereka. Tidak boleh ada satupun kalimat atau kata yang menyebut nama ibunya. Mereka semua tidak akan mengucapkan satu patah katapun terkecuali ketika ditanya ayah.

Rumah menjadi tidak terurus. Debu menutupi perabotan kayu dan laba-laba mulai gencang merancang rumahnya di sudut ruangan.

Ayahnya akan menyuruh paman supir membeli sarapan dan makan malam lalu menghilang entah dibalik ruang kerjanya atau menutup pintu keluar rumah. Suasana menjadi sunyi dan senyap hingga singto bisa mendengar suara burung yang hinggap di ranting sekitar rumahnya berkicau pelan.

Tepat bulan kesepuluh, ayahnya membawa seorang wanita yang terlihat masih muda ke rumahnya. Mereka bertiga hampir mengira ayahnya membawa ibu baru kalau saja sang ayah tak memperkenalkan wanita itu sebagai asisten rumah tangga mereka yang baru. Sepertinya ayah sadar keadaan kami yang luntang lantung seperti di penjara tidak terurus lalu akhirnya memutuskan untuk mempekerjakan perempuan itu. Namanya bi sangpotirat. Karena terlalu panjang singto memutuskan memanggilnya bi tira.

Setidaknya beban hidup singto berkurang sedikit. Dia tak perlu memikirkan lagi apa yang akan ia makan hari ini, apakah bajunya sudah kembali dari laundry, atau siapa yang akan membersihkan debu-debu di tiap sudut rumahnya yang mulai menumpuk membuatnya bersin-bersin.

Rumahnya menjadi lebih manusiawi.

Bulan demi bulan dilewati. Bibi itu baik sekali. Terkadang dia akan menemani singto kecil yang sedang melamun di rumah belakang dan menceritakan beberapa kisah. Wanita dewasa itu juga terkadang akan menceritakan tentang anaknya yang harus ditinggal sendirian di rumah. Dia membanggakan anaknya yang manis dan dewasa. Singto agak iri mendengarnya, pastilah anak itu sangat disayang.

Singto kecil juga biasa menemani bi tira saat sedang menjemur pakaian di samping rumah, atau saat memasak makan siang, atau juga saat asisten rumah mereka itu sedang melakukan kegiatan sehari-hari.

Yang menyebalkan dari bi tira hanya satu. Dia tidak pernah menginap sekalipun di rumah itu. Singto berpikir jika bi tira menginap maka kemungkinan besar dia tidak akan kesepian karena mungkin tengah malam ia akan menyelinap untuk tidur bersamanya.

Saat ia tanyakan itu kepada ayahnya dengan perasaan takut, ayahnya menentang keinginannya. Singto kecil tidak mengerti kenapa, tapi yang bisa ia ketahui dari jawaban pak indra selaku sopir mereka ayahnya masih trauma dengan kejadian ibunya. Ia tak mengerti. Apa itu trauma? Apakah itu nama sebuah tempat? Jadi dia hanya bisa mengangguk pasrah mendengar jawaban membingungkan itu.

Tapi setahun setelah itu, entah mengapa ayahnya memanggil bi tira ke ruang kerjanya. Tidak pernah ayahnya sekalipun membiarkan seseorang memasuki ruang kerja itu selain ketika bi tira membersihkan ruangan saat ayahnya sudah pergi bekerja. Bi tira keluar dari sana dengan wajah berseri, tidak seperti ekspetasi singto. Singto melihat bi tira yang bersenandung pelan dari balik tembok, tidak berani mendekat dan bertanya. Biarlah kelak pertanyaan itu terjawab sendirinya, singto tidak berani merusak momen kebahagiaan wanita itu.

Esoknya ketika ia menuruni tangga rumahnya dan memasuki ruang makan, ia terkejut melihat seorang anak laki-laki yang sangat menempel ke sisi bi tira.

Pelayan baru kah? pikirnya, melihat anak lelaki itu ikut membantu mengangkut piring-piring penuh makanan ke meja makan.

Ketika ayahnya mengenalkan anak itu sebagai anak dari bi tira, ia sedikit kesal dan cemburu. Apalagi ketika ia dilarang sangat ayah mengunjungi rumah kecil dibelakang lagi karena “bocah” itu akan tinggal disana. Senyum bi tira yang biasanya selalu ia lihat ketika bi tira memandang kearahnya, sekarang ia lihat ketika wanita itu menggandeng si bocah keluar dari ruangan makan. Ia ingin sekali mengerjainya hingga anak itu merengek untuk pulang lalu bi tira akan kembali mengurusnya saja disini.

Jadi ketika bi tira keluar dari sana, singto melompat turun dari kursinya. Kaki kecilnya mencoba mengikuti keluarga kecil itu pergi kemana. Ayahnya sempat meneriakinya kecil menanyakan kemana ia akan pergi dan dijawab kalau ia ingin ke toilet. Ia harus memaksa kakinya untuk sedikit berlari karena langkah kedua orang itu amatlah cepat.

“Dengar nak, ibu dan kamu berhutang budi kepada tuan ruangroj. Kita harus mengabdikan diri kita kepada rumah ini dan menjadi patuh. Kamu harus bisa menempatkan dirimu sebagai pelayan mereka. Kau paham kan? “

“kit.. paham. “

“Pintar anak ibu. “

Ohh. Mengabdikan. Singto umur 9 tahun tidak mengerti banyak, tapi ia tau kalau itu bisa menjadi senjatanya kelak.

🐢How Kit met Singto🐢 – -

Krist hanya berumur 8 tahun kalau itu. 8 tahun lebih 2 bulan. Disaat ia masih sekecil itu, hidupnya selalu ia habiskan sendirian di kosan sempit yang ibunya sewa di pinggiran kota. Ia akan bangun pagi, mandi dan gosok gigi, memakan sarapan yang ibunya siapkan, mengemasi rumah yang berantakan, lalu tidur siang. Bahkan setelah ia bangun sore pun ia hanya akan duduk menetap di depan jendela kosannya duduk menyila di sofa yang lebih besar dari ukuran tubuhnya, melihati teman-teman sebayanya bermain kelereng ataupun petak umpet.

Hal itu akan terus ia ulangi hingga maghrib menjelang dimana anak-anak seusianya harus pulang atau hingga salah seorang anak menyadari tatapan 'menakutkan' yang ia layangkan kepada mereka. Terkadang dihari tertentu beberapa anak akan menangis.

Setelah kerumunan bubar, yang bisa Kit kecil lakukan hanyalah menutup rapat 4 buah jendela yang ada lalu menghidupkan lampu satu-satunya di tengah ruangan sebagai penerang kosan kecil mereka. Membuka kulkas yang sudah tidak layak lagi, lalu memanaskan makanan yang ibunya simpan dari pagi buta untuk ia makan malam.

Pukul 8.30 malam biasanya baru akan terdengar langkah kaki ibunya di depan pintu dan berakhir mengetuk pelan agar bisa dibukakan oleh anak semata wayangnya. Ibunya akan masuk ke rumah sambil mengurut bahunya yang pegal dan menanyakan bagaimana keseharian Kit di rumah tanpanya. Lelaki mungil itu hanya akan terdiam sebagai jawaban -tanda bahwa harinya seperti biasa dan tidak ada yang spesial.

Kit akan mengambil alih tas kecil yang ibunya bawa untuk ditaruh ke meja samping televisi usang yang bahkan tak payah-payah untuk kit hidupkan, karena toh tidak akan pernah bisa menyala. Ibunya akan membersihkan dirinya lalu bersiap-siap tidur sambil memeluk tubuh kit yang ringkih. Seperti itu kehidupan mereka berlangsung selama 2 tahun. Kit yang kecil sudah harus terpaksa mandiri.

Hari itu entah mengapa pagi-pagi sekali ibunya sudah membangunkannya dan menyuruhnya bergegas mandi lalu memakai baju yang bagus. Meskipun heran, kit mungil tetap melakukannya. Ibunya mengajak kit keluar dengan membawa banyak sekali tas yang entah apa isinya. Mereka keluar dari kosan dengan menjinjing tas-tas tadi. Ibunya menemui ibu pemilik kos dan berbicara sebentar lalu menyerahkan kunci kos yang hampir setiap hari ia pegang di saku celananya.

Kit bingung tapi tidak berani menanyakan apapun kepada ibunya yang terlihat sangat repot. Mereka menaiki bus pagi-pagi buta. Bunyi besi bus yang berkarat terdengar mengerikan saat diinjak kaki rampingnya. Di dalam bus hanya ada seorang lelaki tua dengan seorang ibu-ibu yang terlihat sedikit tua daripada ibunya. Keduanya terlihat menutup mata mencoba menghalau rasa dingin pagi ini. Mata kecilnya mencoba menyesuaikan dengan kegelapan yang ada karena bahkan mentari belum terbit sedikitpun.

Ketika akhirnya bus berhenti di sebuah halte, mereka harus berjalan lagi kesebuah gang yang mengarah menuju rumah besar tingkat 2 yang pagarnya saja nampak seperti akan menelan Kit hidup-hidup. Rumahnya terlalu besar -entahlah apakah rumah itu terlalu besar untuknya atau kit yang terlalu kecil untuk rumah itu.

Ibunya menarik tangannya ke sebuah ruangan yang megah. Satu ruangan itu jika dihitung mungkin sama besarnya dengan rumah kos milik ibu kos yang menampung 10 ruang kamar dan 2 buah toilet. Ibunya menarik kit agar sejajar dengannya lalu begitu sampai di depan sebuah meja dengan kursi yang membelakangi mereka, ibunya mulai berbicara memperkenalkannya sambil menunduk. Kit hanya bisa menatap kebingungan.

Ketika kursi itu berputar kearahnya, kit bisa melihat sesosok lelaki berumur sekitar 30an dengan wajah angkuhnya. Ia mengatakan beberapa patah kata yang sulit kit cerna. Yang dapat ia tangkap hanyalah, pakai rumah dibelakang. Ibunya membalas paman itu dengan ucapan Terima kasih yang aamat banyak hingga Kit tidak bisa menghitung berapa banyak ucapan itu dengan jari jemarinya yang mungil.

Setelah mereka undur diri, Kit lalu dibawa ibunya berjalan melewati lorong-lorong panjang tak berujung yang entah kapan bisa sampai ke tujuan. Kit baru bisa lega saat ibunya membuka pintu belakang yang menuju ke sebuah taman dengan sebuah rumah yang jauh lebih kecil diujung taman. Kit bahkan masih sempat terkagum-kagum memandang hamparan bunga dan kolam ikan yang airnya sangat jernih ketika ibunya sudah membuka pintu rumah kayu yang akan mereka tinggali kelak ini.

“kit masuklah. ” Perintah ibunya sambil mencoba mencopoti satu persatu kain putih yang menutupi perabotan.

Kit kecil akhirnya berjalan memasuki rumahnya dengan menenteng 2 tas kecil di tangan kanan kirinya. Rumah itu bahkan benar-benar jauh lebih layak huni daripada kosannya. Ada sebuah televisi yang terlihat masih bagus dan beberapa ornamen cantik menggantung di langit-langit rumah.

Mereka hanya berkemas sedikit memasukan baju lalu ibunya kembali menyeretnya memasuki rumah besar itu lagi melewati pintu belakang. Ibunya membawanya ke dapur yang penuh dengan makanan. Ibunya terlihat amat sibuk hingga tanpa disuruh lagi Kit mendudukan tubuhnya di sebuah tong kayu yang ada diujung dapur untuk mengistirahatkan kaki kecilnya yang dipaksa berjalan kesana kemari semenjak pagi buta. Kaki-kaki mungilnya bergoyang ke depan dan kebelakang menunjukan kebosanan.

Tepat jam 7.30 ibunya selesai memasak dan mulai menyusun makanan-makanan yang amat banyak ke sebuah troli yang cukup besar. Ibunya kemudian menatapnya dan mengayunkan tangannya mengisyaratkan anaknya untuk mendekat dan mengenggam tangannya.

Ibunya membawanya lagi ke sebuah ruangan yang jauh lebih luas dengan sebuah meja panjang dan kursi-kursi yang telah disusun rapi. Di ujung tengah kursi, lelaki yang tadi ia temui di ruangan pertama sedang duduk sambil membaca koran. Tidak ada satupun yang berani untuk mengganggunya membaca beberapa lembar berita itu. Ibunya mulai menyusun banyak piring ke meja yang dialasi kain putih tanpa bicara. Kit yang melihat ibunya bekerja, berinisiatif untuk membantu mengangkat piring-piring ke atas meja supaya ibunya tidak perlu bolak balik mengangkut.

Tanpa ibu dan anak itu sadari, tuan rumah mengintip sedikit dari lembaran koran dan tersenyum kecil. Matanya mengikuti gerak-gerik anak asistennya yang menggemaskan.

Ketika makanan sudah sepenuhnya diletakkan di atas meja, satu persatu anak tuan rumah memasuki ruangan itu. Dari anak lelaki tertua yang menggunakan seragam SMP, anak perempuan bungsu yang terlihat cantik dengan rok sekolahnya, serta yang terakhir anak lelaki dengan seragam biru yang membalut tubuhnya apik.

Anak yang terakhir masuk menatap Kit dengan pandangan aneh. Ia kemudian menatap ayahnya untuk meminta penjelasan.

“Ohm, singto, namtan. Perkenalkan ini anaknya bu sangpotirat. Siapa tadi? ” Lelaki itu menggerak-gerakan tangannya mengisyaratkan ibunya untuk menjawab.

“Krist, tuan, krist perawat.” Jawab ibunya membalas pertanyaan tuannya.

“Benar, krist.. Nah bu sangpotirat dan krist ini akan tinggal di rumah yang ada dibelakang mulai sekarang jadi kalian jangan mengganggu rumah belakang lagi ya, dengar singto?” Yang dipanggil singto hanya bisa memasang wajah masam.

“Nah krist, kenalkan nama saya tuan ruangroj. Yang ini ohm, singto, lalu itu namtan. Jangan terlalu sungkan.” Tutup tuan ruangroj dengan senyum kecilnya.

Krist sedikit membungkuk untuk menyapa mereka. Ia mengedarkan pandangan kepada anak-anak tuan ruangroj lalu terhenti ketika ia beradu pandang dengan singto. Matanya jahil dan senyumnya terlihat mencurigakan. Pertemuan mata mereka terputus ketika ibunya menariknya untuk keluar sambil membawa troli makanan dan kembali ke dapur.

Begitu sampai di dapur, ibunya membungkuk ke arahnya hingga tinggi mereka sejajar. Ibunya menggenggam kedua bahu Kit yang masih amat kecil untuk dihadapkan dengan dirinya.

“Dengar nak, ibu dan kamu berhutang budi kepada tuan ruangroj. Kita harus mengabdikan diri kita kepada rumah ini dan menjadi patuh. Kamu harus bisa menempatkan dirimu sebagai pelayan mereka. Kau paham kan? “

“kit.. paham. “

“Pintar anak ibu. ” Entah apa yang membuat Ibunya sangat senang, tapi ibu nya bahkan sampai memeluknya erat dan memekik girang.

Begitulah. Dari hidupnya yang biasa saja dan terus-terusan berada seperti di penjara tanpa seorang pun yang menemani, kini ia bisa melepaskan diri dan mulai hidup dengan nyaman. Ibunya berkata jikalau itu semua adalah berkat tuan ruangroj, oleh sebab itu setiap hari ia harus mendengar dikte ibunya yang berucap untuk mengabdikan hidup mereka kepada tuan ruangroj. Kit umur 8 tahun, belajar untuk sadar siapa dirinya.

Krist hanya berumur 8 tahun kalau itu. 8 tahun lebih 2 bulan. Disaat ia masih sekecil itu, hidupnya selalu ia habiskan sendirian di kosan sempit yang ibunya sewa di pinggiran kota. Ia akan bangun pagi, mandi dan gosok gigi, memakan sarapan yang ibunya siapkan, mengemasi rumah yang berantakan, lalu tidur siang. Bahkan setelah ia bangun sore pun ia hanya akan duduk menetap di depan jendela kosannya duduk menyila di sofa yang lebih besar dari ukuran tubuhnya, melihati teman-teman sebayanya bermain kelereng ataupun petak umpet.

Hal itu akan terus ia ulangi hingga maghrib menjelang dimana anak-anak seusianya harus pulang atau hingga salah seorang anak menyadari tatapan 'menakutkan' yang ia layangkan kepada mereka. Terkadang dihari tertentu beberapa anak akan menangis.

Setelah kerumunan bubar, yang bisa Kit kecil lakukan hanyalah menutup rapat 4 buah jendela yang ada lalu menghidupkan lampu satu-satunya di tengah ruangan sebagai penerang kosan kecil mereka. Membuka kulkas yang sudah tidak layak lagi, lalu memanaskan makanan yang ibunya simpan dari pagi buta untuk ia makan malam.

Pukul 8.30 malam biasanya baru akan terdengar langkah kaki ibunya di depan pintu dan berakhir mengetuk pelan agar bisa dibukakan oleh anak semata wayangnya. Ibunya akan masuk ke rumah sambil mengurut bahunya yang pegal dan menanyakan bagaimana keseharian Kit di rumah tanpanya. Lelaki mungil itu hanya akan terdiam sebagai jawaban -tanda bahwa harinya seperti biasa dan tidak ada yang spesial.

Kit akan mengambil alih tas kecil yang ibunya bawa untuk ditaruh ke meja samping televisi usang yang bahkan tak payah-payah untuk kit hidupkan, karena toh tidak akan pernah bisa menyala. Ibunya akan membersihkan dirinya lalu bersiap-siap tidur sambil memeluk tubuh kit yang ringkih. Seperti itu kehidupan mereka berlangsung selama 2 tahun. Kit yang kecil sudah harus terpaksa mandiri.

Hari itu entah mengapa pagi-pagi sekali ibunya sudah membangunkannya dan menyuruhnya bergegas mandi lalu memakai baju yang bagus. Meskipun heran, kit mungil tetap melakukannya. Ibunya mengajak kit keluar dengan membawa banyak sekali tas yang entah apa isinya. Mereka keluar dari kosan dengan menjinjing tas-tas tadi. Ibunya menemui ibu pemilik kos dan berbicara sebentar lalu menyerahkan kunci kos yang hampir setiap hari ia pegang di saku celananya.

Kit bingung tapi tidak berani menanyakan apapun kepada ibunya yang terlihat sangat repot. Mereka menaiki bus pagi-pagi buta. Bunyi besi bus yang berkarat terdengar mengerikan saat diinjak kaki rampingnya. Di dalam bus hanya ada seorang lelaki tua dengan seorang ibu-ibu yang terlihat sedikit tua daripada ibunya. Keduanya terlihat menutup mata mencoba menghalau rasa dingin pagi ini. Mata kecilnya mencoba menyesuaikan dengan kegelapan yang ada karena bahkan mentari belum terbit sedikitpun.

Ketika akhirnya bus berhenti di sebuah halte, mereka harus berjalan lagi kesebuah gang yang mengarah menuju rumah besar tingkat 2 yang pagarnya saja nampak seperti akan menelan Kit hidup-hidup. Rumahnya terlalu besar -entahlah apakah rumah itu terlalu besar untuknya atau kit yang terlalu kecil untuk rumah itu.

Ibunya menarik tangannya ke sebuah ruangan yang megah. Satu ruangan itu jika dihitung mungkin sama besarnya dengan rumah kos milik ibu kos yang menampung 10 ruang kamar dan 2 buah toilet. Ibunya menarik kit agar sejajar dengannya lalu begitu sampai di depan sebuah meja dengan kursi yang membelakangi mereka, ibunya mulai berbicara memperkenalkannya sambil menunduk. Kit hanya bisa menatap kebingungan.

Ketika kursi itu berputar kearahnya, kit bisa melihat sesosok lelaki berumur sekitar 30an dengan wajah angkuhnya. Ia mengatakan beberapa patah kata yang sulit kit cerna. Yang dapat ia tangkap hanyalah, pakai rumah dibelakang. Ibunya membalas paman itu dengan ucapan Terima kasih yang aamat banyak hingga Kit tidak bisa menghitung berapa banyak ucapan itu dengan jari jemarinya yang mungil.

Setelah mereka undur diri, Kit lalu dibawa ibunya berjalan melewati lorong-lorong panjang tak berujung yang entah kapan bisa sampai ke tujuan. Kit baru bisa lega saat ibunya membuka pintu belakang yang menuju ke sebuah taman dengan sebuah rumah yang jauh lebih kecil diujung taman. Kit bahkan masih sempat terkagum-kagum memandang hamparan bunga dan kolam ikan yang airnya sangat jernih ketika ibunya sudah membuka pintu rumah kayu yang akan mereka tinggali kelak ini.

“kit masuklah. ” Perintah ibunya sambil mencoba mencopoti satu persatu kain putih yang menutupi perabotan.

Kit kecil akhirnya berjalan memasuki rumahnya dengan menenteng 2 tas kecil di tangan kanan kirinya. Rumah itu bahkan benar-benar jauh lebih layak huni daripada kosannya. Ada sebuah televisi yang terlihat masih bagus dan beberapa ornamen cantik menggantung di langit-langit rumah.

Mereka hanya berkemas sedikit memasukan baju lalu ibunya kembali menyeretnya memasuki rumah besar itu lagi melewati pintu belakang. Ibunya membawanya ke dapur yang penuh dengan makanan. Ibunya terlihat amat sibuk hingga tanpa disuruh lagi Kit mendudukan tubuhnya di sebuah tong kayu yang ada diujung dapur untuk mengistirahatkan kaki kecilnya yang dipaksa berjalan kesana kemari semenjak pagi buta. Kaki-kaki mungilnya bergoyang ke depan dan kebelakang menunjukan kebosanan.

Tepat jam 7.30 ibunya selesai memasak dan mulai menyusun makanan-makanan yang amat banyak ke sebuah troli yang cukup besar. Ibunya kemudian menatapnya dan mengayunkan tangannya mengisyaratkan anaknya untuk mendekat dan mengenggam tangannya.

Ibunya membawanya lagi ke sebuah ruangan yang jauh lebih luas dengan sebuah meja panjang dan kursi-kursi yang telah disusun rapi. Di ujung tengah kursi, lelaki yang tadi ia temui di ruangan pertama sedang duduk sambil membaca koran. Tidak ada satupun yang berani untuk mengganggunya membaca beberapa lembar berita itu. Ibunya mulai menyusun banyak piring ke meja yang dialasi kain putih tanpa bicara. Kit yang melihat ibunya bekerja, berinisiatif untuk membantu mengangkat piring-piring ke atas meja supaya ibunya tidak perlu bolak balik mengangkut.

Tanpa ibu dan anak itu sadari, tuan rumah mengintip sedikit dari lembaran koran dan tersenyum kecil. Matanya mengikuti gerak-gerik anak asistennya yang menggemaskan.

Ketika makanan sudah sepenuhnya diletakkan di atas meja, satu persatu anak tuan rumah memasuki ruangan itu. Dari anak lelaki tertua yang menggunakan seragam SMP, anak perempuan bungsu yang terlihat cantik dengan rok sekolahnya, serta yang terakhir anak lelaki dengan seragam biru yang membalut tubuhnya apik.

Anak yang terakhir masuk menatap Kit dengan pandangan aneh. Ia kemudian menatap ayahnya untuk meminta penjelasan.

“Ohm, singto, namtan. Perkenalkan ini anaknya bu sangpotirat. Siapa tadi? ” Lelaki itu menggerak-gerakan tangannya mengisyaratkan ibunya untuk menjawab.

“Krist, tuan, krist perawat.” Jawab ibunya membalas pertanyaan tuannya.

“Benar, krist.. Nah bu sangpotirat dan krist ini akan tinggal di rumah yang ada dibelakang mulai sekarang jadi kalian jangan mengganggu rumah belakang lagi ya, dengar singto?” Yang dipanggil singto hanya bisa memasang wajah masam.

“Nah krist, kenalkan nama saya tuan ruangroj. Yang ini ohm, singto, lalu itu namtan. Jangan terlalu sungkan.” Tutup tuan ruangroj dengan senyum kecilnya.

Krist sedikit membungkuk untuk menyapa mereka. Ia mengedarkan pandangan kepada anak-anak tuan ruangroj lalu terhenti ketika ia beradu pandang dengan singto. Matanya jahil dan senyumnya terlihat mencurigakan. Pertemuan mata mereka terputus ketika ibunya menariknya untuk keluar sambil membawa troli makanan dan kembali ke dapur.

Begitu sampai di dapur, ibunya membungkuk ke arahnya hingga tinggi mereka sejajar. Ibunya menggenggam kedua bahu Kit yang masih amat kecil untuk dihadapkan dengan dirinya.

“Dengar nak, ibu dan kamu berhutang budi kepada tuan ruangroj. Kita harus mengabdikan diri kita kepada rumah ini dan menjadi patuh. Kamu harus bisa menempatkan dirimu sebagai pelayan mereka. Kau paham kan? “

“kit.. paham. “

“Pintar anak ibu. ” Entah apa yang membuat Ibunya sangat senang, tapi ibu nya bahkan sampai memeluknya erat dan memekik girang.

Begitulah. Dari hidupnya yang biasa saja dan terus-terusan berada seperti di penjara tanpa seorang pun yang menemani, kini ia bisa melepaskan diri dan mulai hidup dengan nyaman. Ibunya berkata jikalau itu semua adalah berkat tuan ruangroj, oleh sebab itu setiap hari ia harus mendengar dikte ibunya yang berucap untuk mengabdikan hidup mereka kepada tuan ruangroj. Kit umur 8 tahun, belajar untuk sadar siapa dirinya.

Kit menggigiti bibir bawahnya tanpa sadar. Dia melihat kak Singto-nya melewatinya di hall GMM yang luas. Lelaki itu terlihat sibuk. Kakinya melangkah lebar-lebar dan tergesa sedang matanya terus-terusan menengok ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Kit tebak dia terlambat janji temu dengan petinggi GMM untuk membicarakan pekerjaan lebih lanjut. Ia melamun, tidak sepenuhnya sadar telah mengangkat jemarinya kearah mulutnya, lalu ganti menggigit kuku ibu jarinya. Hari ini adalah hari “itu”.

“it..” sayup-sayup seseorang memanggil.

“Ki-..” dia semakin gugup menggigiti jemarinya.

“KIT!” Seseorang mengguncang bahunya kuat, mengembalikan lelaki itu ke kesadarannya.

Setelah mendesah sebentar dengan menghela nafasnya, Krist mengangkat wajahnya yang entah kapan sempat ia tundukkan. Wajahnya lesu dan kantung mata mengerikan menghiasi wajah yang biasanya ceria itu.

“Iya, Phi?” tanyanya kepada Gun.

“Kau daritadi tidak mendengarkanku sama sekali?”

“Apa? Tidak. Iya-tidak eh maksudku aku dengar kok!”

“Jelaskan apa yang aku katakan tadi kalau begitu” tantang Gun dan jelas Kit tidak bisa menjawab apa-apa karena benar memang dia tidak mendengar. Kit pun tak mengelak mengingat yang sedang ia ajak omong sekarang adalah Gun. The greatest Gun. Kakaknya itu tahu kapan ia bohong atau sedang jujur.

“Cerita padaku, kenapa kau begini? Kau terlihat.. panik”

“Tidak Kit, kau sedang mengkhawatirkan sesuatu, aku tahu.” ujarnya setelah melihat Kit menggeleng pelan. Tangannya otomatis menggandeng milik Krist ketika sampai ke depan jejeran lift yang penuh dengan orang-orang yang juga memiliki tujuan sama dengan keduanya- menaiki lift untuk sampai ke lantai lebih atas. Meskipun ia memiliki tubuh yang pasti lebih kecil daripada Kit, Gun tetaplah lebih dewasa dan berumur lebih tua daripada anak manis itu. Ia amat menjaganya.

Kit nyaris berbisik di samping kanan Gun. Ia terdengar seperti mencicit. Gun sampai-sampai harus menyerukan ‘hah’ panjang dan memintanya mengulang karena kali ini suaranya amat lesu dibandingkan biasanya.

“ Itu… sekarang adalah hari ‘itu’, kak.” Wajahnya semakin menunduk menatap kedua kakinya yang saling berhimpitan dengan kaki orang lain di lift yang penuh sesak itu. Tanpa berbicara ataupun mencoba membalas perkataan Kit, Gun mengeratkan genggaman tangannya pada Kit.

“Kau dengar cerita Nom?” seorang perempuan yang sepertinya staff terdengar berbicara. Suaranya tidak kencang, namun kenyataan kalau ia dan temannya tepat berada di samping Kit membuatnya dapat mendengar semua pembicaraan mereka.

“Kau ingat pacarnya yang senang sekali membelikan ia barang-barang bagus? Termasuk baju, kalung, dan sepatunya? Ternyata lelaki itu belum melupakan mantan kekasihnya. Ia membelikan semua itu agar Nom terlihat mirip dengan mantannya. Lelaki itu sengaja menjadikan Nom pelariannya.” Perempuan yang pertama tadi mendesis kesal, sedangkan temannya terdengar ikut empati terhadap nasib si ‘Nom’ ini, dapat diketahui dari caranya mendecak dan ikut menyatakan kekesalannya.

Kit sudah akan menangis ketika Gun menariknya agar berada di bagian kirinya. Ia tahu bahwa kakaknya itu berharap agar ia tidak mendengar kelanjutan gosip itu namun ia semakin dilanda panik ketika otaknya membenarkan kata ‘pelarian’. Tubuhnya merespon rasa sakit dengan refleks hingga tangannya yang digenggam balik mencengkram kuat telapak tangan Gun, sedangkan empunya hanya bisa menahan sakit karena cengkraman itu sangat kencang.

“Tahan, Kit. Kita akan sampai sebentar lagi.” Jujur saja sekarang tangannya terasa kebas.

Denting lift yang ke-4 ini membawa mereka ke lantai tujuan. Kit tanpa banyak kata melesak keluar dan terburu-buru menuju toilet yang berada di tengah-tengah lorong. Cepat sekali larinya sampai-sampai Gun sedikit tertatih membawa kakinya berlari kecil menyusul adiknya itu sambil sesekali mengibaskan tangannya.

“Kit?” panggilnya di depan pintu masuk toilet, “ah maafkan aku.” Ujarnya begitu hampir menabrak seseorang yang akan keluar toilet.

Suara muntahan menyambut Gun ketika sudah benar-benar memasuki toilet. Untung saja toilet kali ini sedang kosong, kalau tidak mungkin mereka berdua akan diprotes. Ia menunggu di depan tepat di depan bilik yang berada di tengah- menyender ke keramik putih wastafel, satu-satunya yang tertutup membuatnya yakin Kit berada di sana, memuntahkan entah apa yang ia makan tadi pagi. Tapi Gun yakin adiknya itu pasti tidak makan apa-apa dan hanya mengeluarkan air yang ia minum semejak sehari lalu.

Kit keluar dari sana setelah 5 menit terisak, sempoyongan. Tanpa melihat tatapan iba yang Gun layangkan ke arahnya, ia menyeret kakinya ke samping Gun tepat didepan wastafel paling kanan. Menghidupkan keran lalu membasuh wajahnya yang berantakan dan membengkak. Tidak peduli dengan air yang menyiprat ke kerah dan pergelangan lengan yang menambah berantakan penampilannya.

“Kau tahu kan kalau kau bisa menanyakannya ke Singto? Mungkin kedengarannya klasik, tapi komunikasi diantara kalian -“

“Dia engga mau jawab, Kak. Aku pernah menanyakan padanya alasannya di tahun kedua kami, tapi dia engga jawab ataupun berhenti saat itu.” Gun bisa dengar getaran di suara Kit yang rapuh.

“Kau bisa tanyakan lagi, Kit, ini sudah 4 tahun-“ lagi-lagi Krist memotong kalimat Gun.

“Aku takut. Gimana kalau… gimana kalau yang aku pikirkan selama ini benar? Aku takut, aku gamau dia mengiyakan prediksi aku, atau bisa aja dia marah dan mengatakan aku terlalu ikut campur, atau dia…” setitik demi setitik air mata jatuh dengan deras di kedua pipinya yang kemerahan. Gun hanya bisa memandang ke langit-langit toilet sambil meraih tangan milik Kit untuk digenggam lagi. Keduanya menghela napas. Yang satu dengan perasaan kalut dan yang lain dengan hembusan yang perlahan.

“Kalian sudah datang? Aku punya berita bagus!” Off menghampiri Kit dan Gun yang baru datang ke studio 8, namun menghentikan kalimat cerianya begitu melihat wajah pucat Kit yang tertekuk dan matanya membengkak merah. Dibelakangnya menyusul Gun yang segera menyambar lengan kirinya, menyeretnya menjauh dari tengah studio dan menepi ke sudut. Jumpol hanya bisa pasrah ditarik-tarik oleh lelaki mungil itu.

“Kenapa dengan Kit?” Off segera setelah mereka berhenti menepi melanjutkan pertanyaan yang tertahan di ujung lidahnya, menoleh kearah Kit yang sedang mengistirahatkan tubuhnya di bean bag di tengah ruangan dan meringkuk memeluk lututnya sendiri.

“Hari ini adalah hari ‘itu’. Kit sepertinya berakhir memikirkan banyak kemungkinan-kemungkinan. Pi, apa menurutmu kita harus memukul Singto?” Off hampir tertawa keras mendengar keberanian Gun yang jelas lebih kecil dari Singto ini untuk memukul lelaki yang sedang mereka bicarakan.

“Gun, kau tahu? Terkadang ada yang tidak bisa kita ikut campuri. Aku marah sekali mendengar perlakuan Singto ke Kit, tapi kita juga ga bisa menilai dari satu sisi 'kan? Kita harus dengar penjelasan Singto juga. Kau tau dia orangnya begitu, tidak membuka perasaannya pada siapapun.” Off merespon kalimat pacarnya dengan bijak. Ia mengambil jemari pacarnya yang mencengkram erat pergelangan tangannya, mencoba mengirimkan pengertian lewat sentuhan.

Kit tersentak ketika merasakan getaran teleponnya yang berada di saku celana. Ia terbangun dengan kondisi sepi dan lampu studio telah dimatikan sebagian. Seseorang menghubunginya dan jujur saja sekarang tubuhnya masih terasa kaku dan kebas karena hari ini dia tidak tidur sama sekali memikirkan ‘malam ini’. Dengan gemetar ia duduk dengan tangan kiri menopang tubuhnya sedangkan tangan kanannya meraih selular di saku kanan. Krist baru menyadari segelas es coklat yang sudah agak mencair di ujung sebrang kakinya. Entah siapa yang membelikannya es cokelat itu tapi yang pasti dia amat bersyukur karena sekarang ia sedang lemas sekali dan membutuhkan gula.

“Halo, Siapa ini?” masa bodoh dia terlalu malas melihat display nama yang tertera di genggamannya.

“Kit! Ini aku, kau barusan bangun tidur ya sampai tidak melihat siapa yang menelponmu? Sudah kubilang jangan kebiasaan begitu. Bagaimana kalau ternyata yang menghubungimu adalah fans fanatikmu? Bisa-bisa kau akan dalam bahaya, halo Kit?? Kiiitt? Kau masih disana kan? Kau dengar tidak?” sebenarnya Krist tidak mendengarkan lagi setelah yang diujung sana menyebut nama Kit dengan aksen khasnya.

“ Iya, phi Sing aku dengar..”

“ Ya syukurlah, jangan lupa yaa hari ini, di apartemenku. Seperti biasa barang-barangnya ada di box di bawah tempat tidur. Datanglah duluan Kit, aku masih harus melanjutkan pembacaan script dengan direktur.” Cukup lama untuk Kit mengiyakan kalimat kakaknya ini. Ada perasaan yang ingin menolak dan meneriaki wajah tampan Singto keras atau sekadar memaki lelaki itu dengan segala makian yang ada di muka bumi.

Singto segera menutup sambungan setelah terdengar panggilan untuk kembali melanjutkan pertemuan. Sedangkan Krist kini hanya bisa menyesali dirinya yang tak tega menyumpahserapahi Singto. Setetes air mata jatuh kembali jika mengingat kak Singtonya. Kak Singto-nya yang katanya mencintai dia tanpa syarat. Kak Singto-nya yang berlutut dihadapannya yang kesal menangisi kecemburuan pada lawan main Singto. Kak Singto-nya yang mengelus kepalanya ketika malam hari ia terlalu lelah dengan kehidupan sebagai artis. Tapi juga kak Singto-nya yang selalu memintanya untuk menjadi orang lain. Kak Singto-nya yang mengaku tidak pernah memikirkan siapapun selain aku padahal selalu melamun setiap memandang dompetnya yang tak pernah tersentuh. Kak Singto-nya yang tak pernah memberikan kejelasan.

Es cokelat yang sedari tadi menganggur di dekat kakinya ia jangkau dan menyedot tanpa pikir panjang. Gula adalah obat terbaik, sungguh, karena sekarang Kit benar-benar segar kembali.

Cukup lama ia melamun memandangi telepon genggamnya. Mungkin jika itu sebuah telur, pasti telah matang ia pandangi dengan emosional dan membara. Ia sedang menyusun sebuah rencana yang tentu amat beresiko untuk masa depan. Tapi persetan, Kit capek dengan perasaannya. Dia butuh dihargai juga. Ia lelah dengan rasa ketakutan yang menghantuinya akhir-akhir ini

Kit segera bangkit dan mengemasi barangnya. Ia pulang, menuju apartemen Singto dan dengan santai memasuki tempat itu menggunakan kunci duplikat yang ia miliki. Lelaki manis itu bergegas mencari box kontainer biru tua yang ada tepat dibawah kasur Singto. Kit buka dan mengeluarkan barang-barang yang ada disana sambil mendengus marah. Rambut palsu berwarna cokelat muda yang panjangnya menyentuh punggung saat ia gunakan, serta blouse kuning dan rok pendek berwarna cream yang manis. Oh sudahkah Kit katakan tadi? Ya Singto selalu memintanya mengenakan semua itu setiap kali mereka melakukan sex.

Jelasnya, Singto menetapkan bahwa mereka akan melakukan sex selama 2 bulan sekali mengingat jadwal mereka berdua amatlah sibuk. Dan di tiap hari dimana mereka akan melakukan sex, Singto selalu memintanya menggunakan rambut palsu, pakaian wanita, dan rok pendek. Awalnya Kit menurut saja karena ia pikir itu adalah hal yang wajar. Mungkin kakaknya ini punya kink? Begitu pikiran Kit. Namun ternyata setelah satu setengah tahun mereka melakukan sex rutin, Singto sama sekali tidak pernah memintanya menjadi dirinya sendiri. Dan hebatnya lagi entah bagaimana Singto selalu mendapatkan variasi baju yang berganti tiap mereka melakukan itu. Parahnya lagi, mereka selalu melakukannya dengan posisi Kit membelakangi sang dominan.

Kit pada akhirnya curiga. Ia mendengar banyak cerita-cerita staf GMM yang merasa menjadi ‘pelarian’ kekasih mereka. Kit merasakan adanya hal yang mengganjal karena tentu cerita mereka hampir-hampir mirip dengan yang dialaminya. Sudah 4 bulan ia menanggung perasaannya yang bertanya-tanya. Selalu tidak ada titik temu, dan ia pun selalu tersakiti. Dan sebenarnya Krist takut apabila setelah menanyakan hal ini pada Singto, jawabannya akan benar, ya Kit aku memang menjadikanmu pelarian dari mantanku, atau bisa jadi LANCANG SEKALI KAU MENANYAKAN HAL ITU PADAKU. Entahlah yang pasti Kit takut sampai dengan tadi, tapi setelah dipikir-pikir ia harus meminta keadilan kepada Singto di ujung waktu. Ia tak mau dipandang remeh ataupun digantung begini. Dia tentu lama-lama akan muak dan hari dimana ia muak haruslah hari ini.